Thursday, June 27, 2013

Hukum Donor Organ Saat Masih Hidup

Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya?

Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu diperhatikan d isini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah: "... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu..." (QS An-Nur: 33)

Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila seorang Muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang Muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum Muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya. Bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini—menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini—menunjukkan bahwa donor  darah dapat diterima syara'.

Di dalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang Muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang Muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu? Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi, "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi, "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."

Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar. Sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.

Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.

Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang di bawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

sumber : republika dan fatwa kontemporer Yusuf Qardhawi

Hukum Donor Organ Tubuh dalam Pandangan Islam

Hukum donor organ telah dibahas para ulama di Tanah Air. Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI), dua Ormas Islam terbesar di Tanah Air—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—pun telah menetapkan fatwa mengenai masalah tersebut.

Secara khusus, ulama terkemuka, Syekh Yusuf al-Qardhawi pun telah menyampaikan fatwanya terkait donor organ tubuh.

Para ulama di Tanah Air dalam forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009, telah menetapkan; hukum melakukan transplatasi kornea mata kepada orang yang membutuhkan adalah diperbolehkan, apabila sangat dibutuhkan dan tidak diperoleh upaya medis lain untuk menyembuhkan.

''Pada dasarnya, seseorang tak mempunyai hak untuk mendonorkan anggota tubuhnya kepada orang lain, karena ia bukan pemilik sejati atas organ tubuhnya. Akan tetapi, karena untuk kepentingan menolong orang lain, dibolehkan dan dilaksanakan sesuai wasiat,'' demikain salah satu bunyi butir fatwa MUI itu.

 Para ulama dalam fatwanya juga menyatakan, orang yang hidup haram hukumnya mendonorkan kornea mata atau organ tubuh lainnya kepada orang lain. 

Ijtima ulama memperbolehkan seseorang berwasiat untuk mendonorkan kornea matanya kepada orang lain, dan diperuntukkan bagi orang yang membutuhkan dengan niat tabarru (prinsip sukarela dan tidak bertujuan komersial).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya membolehkan seseorang berwasiat untuk mendonorkan matanya. 

Muhammadiyah memandang, hukum Islam dapat membenarkan donor kornea mata yang diwasiatkan seseorang ketika meninggal dunia. Sebab, hal itu dapat membawa kemaslahatan bagi penderita yang menerima sumbangan kornea mata.

''Hendaknya, mereka yang berwasiat untuk mendonorkan kornea matanya benar-benar ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya. Jangan berkecenderungan komersial,'' demikian salah satu bunyi fatwa Muhammadiyah terkait masalah itu.

Selain itu, Muhammadiyah juga menekankan, bagi donor yang mempunyai ahli waris, harus mendapatkan izin dari keluarganya.

Hal itu untuk menghindari keberatan dari ahli waris. ''Kecuali bagi donor yang ketika hidup telah menyatakan sukarela menyumbangkan kornea matanya dengan persaksian ahli waris,'' tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Para ulama NU juga telah membahas masalah donor bola mata mayit untuk mengganti bola mata orang buta  pada Muktamar NU ke-23 di Solo, Jawa Tengah, pada 25-29 Desember 1962.

Dalam fatwanya, para ulama NU menegaskan, haram hukumnya mengambil bola mata mayit, walaupun mayit itu tidak terhormat, seperti orang murtad.

''Demikian pula, haram menyambung anggota organ tubuh dengan organ tubuh lainnya, karena bahayanya buta itu tak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit,'' tegas ulama NU dalam fatwanya.

Ulama terkemuka, Syekh Yusuf al-Qardhawi secara rinci dan gamblang telah menetapkan fatwa terkait masalah ini. 

Menurut Syekh al-Qardhawi, tindakan  seorang Muslim yang mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat kepada Muslim lainnya yang menderita gagal ginjal dapat dibenarkan syarak.  ''Bahkan terpuji dan berpahala bagi yang melakukannya,'' kata dia.

Menurutnya, Islam tak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan semua kebaikan merupakan sedekah. ''Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedakah),'' ujar Syekh al-Qaradhawi.

Namun, lanjut dia, mendonorkan organ tubuh kepada orang lain ada syaratnya. Seseorang menjadi tak boleh mendonorkan organ tubuhnya, jika  akan menimbulkan bahaya, kemelaratan dan kesengsaraan pada dirinya.

''Oleh karena itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya seperti hati atau jantung, karena tak akan mungkin hidup tanpa organ tersebut,'' tegas Qardhawi.

Ia juga menyatakan, mendonorkan organ tubuh boleh dilakukan kepada orang Muslim dan non-Muslim, kecuali pada kafir harbi yang memerangi umat Islam.

Qardhawi pun melarang seorang Muslim menjual organ tubuhnya. Sebab, kata dia,  tubuh manusia itu bukanlah harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-tawarkan, sehingga organ manusia menjadi obyek perdagangan dan jual-beli.

sumber : republika

Sunday, June 23, 2013

Nisfu Sya'ban, Pendapat Ulama' dan Dalil-Dalilnya

  • Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya hadits berikut ini:
    Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif)

    Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.

    Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
    Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.

    Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban.
    1. Bentuk Pertama
    Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
    Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
    2. Bentuk kedua
    Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
    Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.

    Al-Imam An-Nawawi
    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban.
    Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
    Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitabIhya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.

    Ustadz 'Athiyah Shaqr
    Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
    Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.

    Dr. Yusuf al-Qaradawi
    Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
    Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
    ---------------------------------
    Jadi, memang terdapat KHILAFIYAH / perbedaan pendapat. tetapi, kita dipersilakan untuk memilih yang mantap di hati kita dan menghargai pendapat yang lain.

    Perayaan malam-malam nisfu sya’ban sudah tidak asing bagi masyarakat di negeri ini khususnya. Mereka biasanya merayakannya dengan acara simakan (menyimak) Al Qur’an yang di baca oleh para huffadz  di setiap mushalla atau masjid-masjid di sekitar tempat tinggal mereka. Bahkan di Irak perayaan nisfu sya’ban lebih antusias lagi, sebagai contoh di sana setiap kali memasuki malam nisfu sya’ban sekitar 125 ribu peziarah memasuki karbala (tanah yang mereka anggap suci, bahkan melebihi dua tanah Haram) [1] untuk merayakanya.

    Adapun dalil-dalil tentangNisfu Sya'ban adalah berikut ini :
    Hadits Dhaif Seputar Nisfu Sya’ban

    1. Hadits pertama

    خمس ليال لا ترد فيهن الدعوة أول ليلة من رجب وليلة النصف من شعبان وليلة الجمعة وليلة الفطر وليلة النحر

    “Ada lima malam yang doa seorang hamba tidak akan tertolak, yaitu pada malam pertama bulan Rajab, malam nisfu sya’ban, malam jum’ah, malam Ied Fitri dan malam Nahr (Ied Adha).”

    Hadits di atas bersumber dari Abu Umamah dan juga Ibnu Umar, di keluarkan oleh Ibnu Asakir (10/408), Abdur Rozaq (4/317 no. 7927) dan Baihaqi dalam Syuabul Iman (3/342 no. 3713) [2]

    Syaikh Al Albani di dalam Silsilah ad Dhaifah al Maudhuah (3/649) bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).

    1. Hadits ke dua

    إذا كان ليلةُ النصفِ من شعبانَ فقومُوا ليلتَها وصومُوا يومَها فإنَّ اللهَ ينزلُ فيها لغروبِ الشمسِ إلى سماءِ الدنيا فيقولُ ألا مستغفرٌ فأغفرَ له ألا مسترزقٌ فأرزقَه ألا مُبْتلًى فأعافيَه ألا سائلٌ فأعطيَه ألا كذا ألا كذا حتى يطلعَ الفجرُ

    “Ketika malam nisfu sya’ban, tegakkanlah malamnya untuk beribadah, berpuasalah di siang harinya, sesungguhnya Alloh turun pada malam itu ke langit dunia semenjak matahari mulai terbenam kemudian berfirman : “Adakah orang yang meminta ampun maka Aku akan mengampuninya, adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberikanya rizki, adakah orang yang terkena musibah maka Aku akan menolongnya, adakah orang yang meminta maka Aku akan memberinya, adakah orang yang begini,..begitu,..” demikian hinga terbit fajar.”

    Hadits di atas di keluarkan oleh Ibnu Majah (1/444 no. 1388), Al Bushiri dalam kitabnya (2/10) mengatakan : “Dalam sanadnya terdapat Ibnu Abi Sabrah, Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan : “Ia memalsukan hadits”.  Dan Al Baihaqi mengeluarkannya dalam Syu’abul Iman (3/378 no. 3822), juga di keluarkan oleh Ad Dailami (1/259 no. 1007). [3]

    Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif al Jami’ as Saghir wa Ziyadatuhu bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).

    1. Hadits ke tiga
    يا عائشة ! أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله ؟ بل أتاني جبريل فقال : هذه الليلة ليلة النصف من شعبان ، ولله فيها عتقاء من النار بعدد شعور غنم كلب ، لا ينظر الله فيها إلى مشرك ولا إلى مشاحن ولا إلى قاطع رحم ولا إلى مسبل ولا إلى عاق لوالديه ولا إلى مدمن خمر

    “Wahai Aisyah,.apakah engkau takut Alloh dan Rasul-Nya akan berbuat dhalim kepadamu,.? Bahkan Jibril telah datang kepadaku dan mengatakan : ‘Malam ini merupakan malam nisfu sya’ban, di dalamnya Alloh membebaskan manusia dari neraka sebanyak bulu domba bani Kalb. Alloh tidak melihat pada malam itu kepada orang musyrik, tidak pula kepada orang yang suka memusuhi, pemutus hubungan silaturrahim, orang yang musbil (memanjangkan pakaian melebihi mata kaki), orang yang durhaka kepada kedua orang tua, serta tidak pula kepada pecandu khamr”.

    Hadits di atas Al Baihaqi mengeluarkanya dalam Syu’abul Iman (3/380 no. 3826), beliau mendhaifkan bahwa hadits itu bersumber dari Aisyah. Juga di riwayatkan oleh Ibnu Majah (1/444 no. 1389). [4]

    Syaikh Al Albani berkata dalam Dhaifu at Targhib wa at Tarhib bahwa hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali).

    1. Hadits ke empat
    في ليلة النصف من شعبان يوحي الله إلى ملك الموت يقبض كل نفس يريد قبضها في تلك السنة

    “Pada malam nisfu sya’ban Alloh mewahyukan kepada malaikat maut untuk mencabut setiap jiwa pada tahun itu”.

    Di riwayatkan oleh Ad Dinawariy dalam Al Mujalasah secara mursal dari Rasyid bin Sa’ad. Syaikh Al Albani berkata tentang hadits ini ; “Dhaif”.[5]

    Hadits Shahih Seputar Nisfu Sya’ban

    Terdapat beberapa hadits dengan lafadz yang hampir sama, mulai dari derajat hasan hingga shahih. Diantara hadits-hadits tersebut adalah ;

    إذا كان ليلةُ النصفِ من شعبانَ اطَّلَع اللهُ إلى خلقِهِ فيغفر للمؤمنين ويُمْلِى للكافرين ويدعُ أهلَ الحِقْدِ بحقدِهم حتى يدعوه

    “Pada malam nisfu sya’ban Alloh muncul (melihat) kepada hamba-Nya, Dia mengampuni seluruh orang beriman dan meninggalkan orang-orang kafir serta membiarkan pendendam dengan rasa dendamnya hingga ia meninggalkanya.”

    Hadits di atas bersumber dari Abu Tsa’labah, Al Baihaqi mengeluarkanya dalam Syu’abul Iman (3/381 no. 3832), demikian pula Ibnu Abi Ashim (1/244 no. 511). Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan’. [6]

    Semisal dengan itu juga hadits :

    في ليلة النصف من شعبان يغفر الله عز وجل لأهل الأرض إلا مشرك أو مشاحن
    “Pada malam nisfu sya’ban Alloh Azza wa Jalla mengampuni penduduk bumi kecuali orang musyrik dan orang suka bermusuhan.”
    Hadits ini bersumber dari Katsir bin Murrah yang di riwayatkan oleh Al Baihaqi secara mursal, dan beliau mengatakan ; “Ini hadits mursal yang bagus”. [7] Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no. 4268 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
    Catatan
    Hadits-hadits shahih atau hasan seputar nisfu sya’ban jumlahnya tidak sebanyak hadits-hadits dhaif yang ada. Bahkan hadits-hadits shahih yang ada secara lafadz hampir sama, hanya berbeda sedikit. Dan dari sekian yang ada, tidak di temukan hadits shahih yang menunjukkan anjuran khusus untuk merayakannya atau melakukan ibadah-ibadah tertentu di dalamnya. Maka pendalilan dengan hadits-hadits shahih mengenai malam nisfu sya’ban sebagai pembenar untuk merayakannya tidaklah tepat. Sebagaimana pula tidak kita temukan riwayat dari para pendahulu kita yang shalih mengenai perbuatan mereka yang merayakannya.

    [1] . Tentu saja, keyakinan bahwa tanah Karbala lebih suci dari pada dua tanah Haram adalah keyakinan yang menyimpang, yang hanya di miliki oleh kaum Syiah yang sesat dan pengikutnya.
    [2] . Lihat Jamiul Ahadits atau Al Jami’ Al Kabir Li As Suyutiy bab Harful Kha (خ) (12/310) Maktabah Syamilah
    [3] . Al Jami’ Al Kabir (1/2973) Maktabah Syamilah
    [4] . Al Jami’ Al Kabir bab Harful Ya (ي) (1/27029) Maktabah Syamilah
    [5] . Shahih wa Dhaif al Jami’ as Shaghir hadits no 4019
    [6] . lihat Shahih Al Jami’, hadits no. 771
    [7] . Shahihu at Targhib wa at Tarhib (3/34) Maktabah Syamilah
    Wallohu a'lam bish showab
    Sumber : Rumah Fiqih Indonesia dan dari berbagai referensi

Kewajiban Maaliyah (Kewajiban terhadap Harta)



 sumber gambar : dari sini

“Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut”. (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani).

Islam adalah agama yang paling sempurna. Ajarannya mencakup semua hal, mulai urusan ibadah sampai muamalah. Hal-hal yang bersifat umum sampai yang detail, meski dalam beberapa hal juga memberikan akal kita untuk memikirkan atau merenungkannya lebih dalam.
Sebagai seorang muslim, kita pun akan dimintai pertanggung-jawaban tentang apa yang kita perbuat di muka bumi, termasuk harta. Dari hadits yang telah disebutkan di awal, poin tentang HARTA ini cukup istimewa. Dari empat hal yang akan dimintai pertanggung-jawaban, -yakni usia, masa muda, harta dan ilmu-, hanya ada satu poin yang ditanyakan dua hal, yakni harta. Harta dimintai pertanggung-jawaban tentang dari mana memperolehnya dan digunakan untuk apa. Hal ini menunjukkan bahwa agama kita memiliki concern terhadap urusan ini.

Sebagai seorang muslim, ada beberapa kewajiban terhadap harta, yaitu :
1.      Mencarinya dengan cara yang halal. Dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 32, disebutkan bahwa Allah telah memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk memanfaatkan semua ciptaan-Nya di muka bumi, maka kewajiban yang harus diperhatikan adalah mencarinya dan memanfaatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah SWT.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 188).
Cara yang terlarang atau dikategorikan haram ini dijelaskan dengan demikian rinci dalam hukum Islam, seperti riba, penipuan, merampas, korupsi, dsb. Harta yang demikian memiliki dampak yang luar biasa dahsyatnya bagi kita.
2.      Islam melarang menumpuk-numpuk harta kekayaan (kanzul mal). Realita seperti ini banyak kita temui dalam masyarakat sekarang, tidak sedikit orang yang telah berkecukupan tapi terus menerus menumpuk-numpuk hartanya. Mereka lebih senang mendepositokan hartanya ketimbang membaginya dengan cara yang sesuai syariat Islam. Yang dimaksud dengan menumpuk harta adalah mengumpulkan harta padahal kebutuhan hidupnya telah terpenuhi secara wajar. Allah SWT. berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”(QS. at-Taubah: 34-35).
Allah lebih menyukai bila harta yang telah banyak terkumpul itu dikeluarkan bagi sesama. Bisa sebagai modal usaha bersama (bersyirkah) atau menginfakkannya sebagai hibah, hadiah, sedekah atau wakaf yang akan mendatangkan pahala yang berlimpah.
3.      Menginfakkannya di jalan Allah SWT. Harta yang telah dimiliki maka selayaknya digunakan pula sesuai dengan perintah Allah. Setiap rupiah uang yang dikeluarkan sesuai dengan perintah-Nya justru mendatangkan keuntungan lagi bagi orang-orang yang mengeluarkannya. Tidak tanggung-tanggung, Allah akan melipatgandakan hingga berlipat-lipat. FirmanNya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 261).

Jenis harta/kekayaan yang disebutkan dalam Al Quran meliputi:
1.      Emas dan perak (QS At Taubah/9:34);
2.      Tanaman dan buah-buahan (QS Al An’am/6:141);
3.      Penghasilan dari usaha yang baik (QS Al Baqarah/2:267); dan
4.      Barang tambang (QS Al Baqarah/2:267).
Namun demikian, lebih daripada itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yang umum yaitu “kekayaan”. “Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka,…..” (QS 9:103)
Menurut Dr. Yusuf Al Qardhawi, kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil manfaatnya.

Beberapa  syarat yang harus dipenuhi oleh harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
1. Kepemilikan penuh. Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt. mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. Perhatikan firman Allah swt. ini, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh tanpa perang), ghanimah, aset negara, kepemilikan umum, dan waqaf khairi. Sedang waqaf pada orang tertentu, maka tetap kena wajib zakat menurut pendapat yang rajih (kuat).
Tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang diperoleh manusia dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena), mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga), menipu. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib bersedekah dengan keseluruhannya.
Sedangkan hutang, yang masih ada harapan kembali, maka pemilik harta harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Namun jika tidak ada harapan kembali, maka pemilik hanya berkewajiban zakat pada saat hutang itu dikembalikan dan hanya zakat untuk satu tahun (inilah madzhab Al-Hasan Al-Bashriy dan Umar bin Abdul Aziz) atau dari tahun-tahun sebelumnya (madzhab Ali dan Ibnu Abbas).
2. Berkembang. Artinya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus harta yang berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan kepada pemilik. Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya.” (HR Muslim). Dari hadits ini beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula rumah yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta berkembang, jika telah memenuhi syarta-syarat lainnya.
3. Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang memiliki kurang dari lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing, atau kurang dari dua ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat. Syarat mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin. Hadits Nabi, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (HR Bukhari dan Ahmad)
4. Nishab itu sudah lebih dari kebutuhan dasar pemiliknya sehingga ia terbukti kaya. Kebutuhan minimal itu ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mati. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (QS Al Baqarah: 219). Al-afwu adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir. Demikian juga yang Rasulullah saw. katakan, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (HR Bukhari dan Ahmad). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai.
5. Pemilik lebih dari nishab itu tidak berhutang yang menggugurkan atau mengurangi nishabnya. Karena membayar hutang lebih didahulukan waktunya daripada hak orang miskin, juga karena kepemilikan orang berhutang itu lemah dan kurang. Orang yang berhutang adalah orang yang diperbolehkan menerima zakat, termasuk dalam kelompok gharimin, dan zakat hanya wajib atas orang kaya.
Hutang dapat menggugurkan atau mengurangi kewajiban zakat berlaku pada harta yang zhahir, seperti hewan ternak dan tanaman pangan, juga pada harta yang tak terlihat seperti uang.
Syarat hutang yang menggugurkan atau mengurangi zakat itu adalah:
a. hutang yang menghabiskan atau mengurangi nishab dan tidak ada yang dapat dugunakan membayarnya kecuali harta nishab itu.
b. hutang yang tidak bisa ditunda lagi, sebab jika hutang yang masih bisa ditunda tidak menghalangi kewajiban zakat.
c. Syarat terakhir, hutang itu merupakan hutang adamiy (antar manusia), sebab hutang dengan Allah seperti nadzar, kifarat tidak menghalangi kewajiban zakat.
6. Telah melewati masa satu tahun. Harta yang sudah mencapai satu nishab pada pemiliknya itu telah melewati masa satu tahun qamariyah penuh. Syarat ini disepakati untuk harta seperti hewan ternak, uang, perdagangan. Sedangkan pertanian, buah-buahan, madu, tambang, dan penemuan purbakala, tidak berlaku syarat satu tahun ini. Harta ini wajib dikeluarkan zakatnya begitu mendapatkannya. Dalil waktu satu tahun untuk ternak, uang, dan perdagangan adalah amal khulafaur rasyidin yang empat, dan penerimaan para sahabat, juga hadits Ibnu Umar dari Nabi saw., “Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu tahun.” (Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi)

Zakat bagi kaum muslimin berguna untuk membersihkan harta tersebut dari harta yang kotor. Dalam terminologi syari’at, zakat didefinisikan sebagai sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyartan tertentu pula. Dinamakan zakat karena mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan, dan memupuk jiwa dengan berbagai kewajiban.
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (An Nur: 56)
“Ambillah (sebagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At Taubah: 103)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memfardhukan  kepada mereka, sedekah (zakat) pada harta mereka yang diambil dari si kaya diantara mereka, lalu dikembalikan kepada si fakir dari mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Orang-orang yang berhak menerima zakat juga terbatas dalam delapan golongan. Secara umum, orang di luar delapan golongan itu tidak berhak menjadi mustahik.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana “(At Taubah: 60)

Terhadap orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Allah telah menyedikan ancaman bagi dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS At Taubah: 34-35)
Rasulullah bersabda, “Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak, tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali.” (HR Ahmad)

Wallohu a’lam bish showab

Thursday, June 13, 2013

Dampak dari Makanan dan Harta yang Haram







Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal, "demikian ucapan sebagian orang, seolah-olah bisa melegalkan kita mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini.

Banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta demi sesuap nasi, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.

Padahal gara-gara makanan, doa kita bisa tidak diterima oleh Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani)

Dalam Al-Quran disebutkan, "Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. "Katakanlah, "Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?" (Surah Yunus, 10: 59)

Di bawah ini beberapa dampak makanan haram yang masuk ke perut kita, sebagaimana banyak diungkapkan di hadis dan Al-Quran;


5 Dampak Langsung

1. Tidak Diterima Amalan
Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari." (HR At-Thabrani).


2. Tidak Terkabul Doa
Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).

3. Mengikis Keimanan Pelakunya
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).

4. Mencampakkan Pelakunya ke Neraka
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).

5. Mengeraskan Hati
Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).
At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).



4 Dampak Tidak Langsung

1. Haji dari Harta Haram Tertolak
Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan, "Labbaik, Allahumma labbaik!" Maka yang berada di langit menyeru, "Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangkan dosa dan tidak diterima." (HR At Thabrani)

2. Sedekahnya ditolak
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, dan dosa untuknya." (HR Ibnu Huzaimah)

3. Shalatnya tidak diterima
Dalam kitab Sya'bul Imam disebutkan, " Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham di antaranya uang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakan." (HR Ahmad)

4. Silaturrahminya sia-sia
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud)


sumber :.[www.hidayatullah.com]

wallohu a'lam bish showab