Sunday, April 28, 2013

do'a menjenguk baby

sumber gambar : dari sini


Kelahiran seorang anak adalah suatu hal yang sangat dinantikan oleh setiap keluarga, pada umumnya. Kehadirannya membawa kebahagiaan bagi keluarga dan orang-orang di sekelilingnya. Banyak harapan yang mengiringi kelahiran si bayi, mulai harapan agar anak tumbuh sehat sampai menjadi sosok yang dicita-citakan. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk saling mendo'akan, khususnya untuk kebaikan si bayi di masa mendatang.

Di dalam buku Menyambut si Buah Hati yang ditulis oleh Salim Rasyid As-Sibli dan Muhammad Khalifah (terbitan Ash-Shaf Media, halaman 30-31), penulis buku tersebut mengatakan, “Tidak terdapat satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ucapan selamat, dan tidak ada sesuatu pun kecuali atsar yang diriwayatkan dari para tabi’in. Di antaranya : Dari Hasan Al-Bashri rahimahullah, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah olehmu,

جَعَلَ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin”
Artinya, “Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Atsar ini hasan, dikeluarkan oleh Imam Thabrani).” >>nukilan sampai di sini.
Sebenarnya masih ada atsar lain dari Ayyub As-Sikhtiyani, namun karena lafazhnya sama, kita cukupkan dengan atsar Hasan Al-Bashri. Untuk melihat atsar tersebut serta takhrij atsar yang lebih komplit bisa dilihat di buku terjemahannya.
Kemudian, penulis juga berkata,
“Atsar-atsar seperti ini jauh lebih baik daripada apa yang kami lihat berupa ucapan yang diada-adakan yang bisa digunakan pada hari ini. Dan tidak seorang pun di antara ahlul ilmi yang memperbolehkannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu kami tidak melazimkan (membiasakan) memberi ucapan selamat seperti di atas, layaknya amalan itu disebutkan oleh sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak juga kami menjadikannya seperti dzikir-dzikir yang lain yang telah pasti di dalam as-sunnah. Maka barangsiapa yang mengucapkannya pada suatu kali, tidak mengapa. Adapun yang tidak mengucapkannya maka tidak ada ruginya.”

Selain itu, ada juga yang menganjurkan menyampaikan do'a berikut :


“Inni u’idzuka bikalimatillahit tammati min kulli syaitanin wa hammatin wa min kulli a’inin lammatin.”
Artinya: “Aku berlindung untuk anak ini dengan kalimat Allah Yang sempurna dari segala gangguan binatang serta gangguan sorotan mata yang dapat membawa akibat buruk bagi apa yang dilihatnya.”


Dalam kitab Al-Adzkaar oleh An-Nawawi hal.349, disebutkan ada sebuah do'a yang bisa disampaikan pada kedua orang tua si bayi, yaitu:
 
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِالْمَوْهُوبِ, وَ شَكَرْتَ الْوَاهِب, وَ بَلَغَ أَشُدَّهُ, وَ رُزِقْتَ برَّه

“Baarokallohulaka fiil mauhuubilaka, wa syakartal waahiba, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu.”

Semoga Alloh memberikan keberkahan untuk dirimu atas (karunia) yg diberikan kepadamu. Semoga engkau mensyukuri Yang Maha Memberi hingga sang anak menjadi dewasa dan menjadi anak yang berbakti.
Moge Allah het geschenk (het kind) gezegend voor je laten zijn, wees dankbaar aan de Schenker, moge hij volgroeien en moge Allah jou zijn gehoorzaamheid schenken.





Jawabannya (atas orang yg mengucapkan doa di atas kepada kita) :
“Baarokallohulaka wa baaroka’alaika, wa jazaakallohu khoiron, wa rozaqokallohu mitslahu, wa ajzala tsawaabaka.
Semoga Alloh memberikan berkahnya kepadamu dan dalam segala yang engkau miliki. Semoga Alloh membalas untukmu kebaikan yang banyak dan memberikan (karunia) tang sama kepadamu. Semoga Alloh pun berkenan melipat gandakan pahalamu.

Moge Allaah je zegenen en Zijn zegeningen op je neer laten dalen. Moge Allah je met het goede belonen en je dezelfde gunst schenken en je beloning vermeerderen.



Wallohu a'alam bish showab

semoga bermanfaat...

Thursday, April 11, 2013

Hadits Larangan Membaca Al Qur'an Bagi Wanita Haid dan Junub, Shoheh kah?

HADIS LARANGAN MEMBACA AL-QUR’AN BAGI WANITA HAID DAN JUNUB RIWAYAT AT-TIRMIDZÎ

A.   Latar belakang masalah
Segala puji hanya milik Allah swt. Kita selalu memuji-Nya, memohon pertolongan, ampunan, dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita.
Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka dialah orang yang mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang akan menjadi penolong dan penuntunnya.
Kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.[1] 
Umat islam mempunyai dua sumber ajaran agama, yakni al-Qur’an dan hadis. Al-Quran adalah firman Allah swt, yang merupakan dasar syariat dan mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk kepentingan dirinya dan seluruh umat manusia. Sedangkan hadis adalah ucapan, perbuatan, atau penetapan Rasulullah. Semua yang didapat dari Rasulullah SAW selain al-Quran ataupun praktiknya, disebut juga hadits atau sunnah.
Semangat untuk membaca al-Qur’an telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita semua, terkhusus umat islam, baik laki-laki mapun perempuan, “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. al-Alaq: 1-5).[2] Kata “Iqra’” disini memang sering kali tidak hanya diartikan dengan membaca secara tekstual terhadap teks-teks bacaan, kata Iqra’ memang bisa dimaknai secara meluas dengan arti mendalami, menelaah, meneliti, memahami, dan mengetahui tentang keadaan sesuatu, akan tetapi arti “membaca” lah yang pertama kali dipakai untuk memaknai arti Iqra’ sesuai dengan arti harfiahnya.
Oleh karenanya kita sebagai orang islam hendaknya mempunyai semangat dan motivasi untuk senantiasa membaca al-Qur’an, meskipun sedikit akan tetapi terus-menerus itu lebih disukai daripada banyak akan tetapi sekali. Dan disebagian ayat al-Qur’an dan hadis sendiri telah memerintahkan dan mendorong kita untuk senantiasa membaca al-Qur’an, baik itu laki-laki maupun perempuan. Dan memang semangat membaca al-Qur’an pun telah terpancar diwajah kaum muslimin, terbukti dengan adanya perlombaan-perlombaan Qira’atu al-Qur’an, perlombaan mengahafal al-Qur’an, atau sekedar acara mengaji di surau-surau atau musholla. 
Namun demikian, satu hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzî mengatakan bahwa orang (wanita) yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca al-Qur’an.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ الًتِّرْمِذِي(
Artinya: dari Ibnu Umar dari nabi Muhammad saw bersabda : “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Qur’an”.  (HR. At-Tirmidzî)
Dengan adanya hadis di atas seolah membatasi gerak dan ruang lingkup dalam membaca al-Qur’an, artinya hanya orang (wanita) yang tidak haid dan orang yang tidak junub yang boleh membaca al-Qur’an, sedangkan orang yang haid dan sedang junub tidak boleh membaca al-Qur’an.
Secara logika dan kebiasaan, orang yang sedang dalam keadaan junub (yakni keadaan kotor karena keluarnya nutfah atau bersetubuh yang mewajibkan seseorang mandi dengan membasahi tubuh dari ujung rambut sampai ke ujung kaki) tentu ia akan segera bersuci setelahnya, jarang kita temukan orang yang junub menunda-nunda sampai sehari, dua hari, bahkan sampai tiga hari dan seterusnya, oleh karenanya tentu boleh membaca al-Qur’an setelahnya.  Namun berbeda sekali dengan wanita yang sedang haid, ia memiliki siklus yang cukup lama dibandingkan dengan sekedar orang junub, ada yang satu minggu, ada yang dua minggu, bahkan lebih. Artinya ia baru bisa bersuci manakala telah usai masa haidnya. seperti permasalahan yang sering terjadi ketika perempuan dalam proses menghafal al-Qur’an jika mereka haid berarti mereka tidak dapat mengulang hafalannya, padahal kebiasaan wanita haid adalah tujuh hari dan tidak sedikit pula wanita yang haid sampai sembilan hari, duabelas hari bahkan ada juga yang sampai setengah bulan. Maka jika pada masa-masa haid seorang wanita sama sekali tidak mengulang hafalanya ditakutkan lupa dan bisa lupa dengan hafalan yang telah mereka hafal padahal semangat untuk tetap menghafal dan mengingat juga layak dimiliki seorang wanita yang dalam keadaan haid.
Misalkan juga ketika murid perempuan ujian materi al-Qur’an dan dia dalam keadaan haid, kemudian masa haidnya lama sehingga tidak mungkin mengikuti ujian tersebut kecuali jika haidnya berhenti maka hal ini akan sangat merugikan bagi murid perempuan. Permasalahan lain ketika murid-murid perempuan ( terutama para ibu guru mereka ) telah menginjak usia baligh. Maka, jika mereka enggan membaca al-Qur’an pada masa-masa haid, berarti seperempat tahun dalam setiap tahunnya mereka terjauh dari al-Qur’an. Itu pun dengan catatan seorang murid perempuan tidak pernah absen dari pelajaran dan sang guru tidak pernah absen dari tugas mengajar. Akibatnya, pelajaran al-Qur’an di sekolah jadi terabaikan.
Penulis sengaja mengambil hadis tentang “membaca” al-Qur’an ini, karena menurut penulis “ membaca” itu lebih luas maknanya daripada sekedar menyentuh, membaca memuat arti menghafal, mengkaji, menyimak, apalagi mengingat zaman yang modrn ini, teks-teks al-Qur’an tidak hanya terdapat di mushaf saja, tetapi juga terdapat diberbagai media elektronik, di hp, di laptop dan lain sebagainya.   
Inilah yang mendasari penulis untuk membuat makalah singkat ini, yakni melacak validitas keshahihan hadis at-Tirmidzî, karena mengingat bahwa dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat dalam al-Qur’an berlangsung  secara mutawâtir, sedangkan hadis Nabi SAW sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad. Oleh sebab itu, al-Qur’an karena periwayatannya yang mutawâtir menjadi qat’i al-wurûd dan tidak membutuhkan penelitian tentang otentitasnya, sementara hadis Nabi karena periwayatannya sebagian secara ahad yang bersifat anni al-wurûd, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keasliannya apakah benar berasal dari Nabi atau bukan.

B.   Rumusan Masalah
Dari deskripsi latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dijadikan landasan dalam pembahasan risalah ini. Adapun pokok-pokok masalah tersebut adalah
1.      Bagaimanakah kualitas hadis tentang larangan untuk membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub dalam riwayat at-Tirmidzî?
2.      Bagaimanakah kehujjahan hadis larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub?

C.   Langkah-langkah penelitian hadis
1.    Takhrîj Hadis
Menurut bahasa takhrîj dari asal kata خَرَّجَ – يُخَرِّج – تَخْرِيْجًا ,[3]yang artinya “mengeluarkan”. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, dan pengertian yang popular dan mudah dipahami untuk kata takhrîj adalah al-istimbat yang artinya “hal yang mengeluarkan”. Sedangkan menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama’ hadis, kata takhrij mempunyai beberapa arti, yakni:
a.    Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b.    Menunjukkan asal-usul yang hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan).
c.    Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing.
d.    Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.

Adapun perlunya kegiatan takhrij dalam penelitian suatu hadis diantaranya adalah:
a.    Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya, oleh karena itu takhrîj sangat diperlukan.
b.    Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Hadis yang akan diteliti mungkin mempunyai lebih dari satu sanad. Maka setelah dikumpulkan diketahuilah seluruh periwayat hadis, mungkin saja salah satu riwayat itu berkwalitas daif atau sahih maka kegiatan takhrîj sangat diperlukan.
c.    Untuk mengetahui ada tidaknya syahid [4] dan muttabi’ [5] pada sanad yang diteliti. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah ada pendukungnya atau tidak.[6]

2.    Teks Hadis
Setelah penulis melacak dan mencari teks-teks hadis tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub dalam sunan at-Tirmidzî, ternyata penulis hanya menemukan satu hadis saja yang berkaitan dengan masalah ini. Yakni terdapat dalam Sunan At-Tirmidzî, kitab Abwâbu al-Thahârati bab Mâ Jâ’a al-Junubi wa al-Haidi Annahuma La Yaqra’ al-Qur’ân, no 131.

 حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ وَالْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ الًتِّرْمِذِي فِي سُنَنِهِ)
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hujr dan Hasan bin ‘Arafah, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar dari nabi Muhammad saw bersabda : “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Qur’an”.  (HR. At-Tirmidzî dalam kitab sunannya)[7]
Selain terdapat dalam sunan at-Tirmidzî, hadis mengenai larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub ini juga terdapat dibeberapa kitab sunan dan musnad, diantaranya yaitu:

1.      Sunan Baihaqî
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِىٍّ الرُّوذْبَارِىُّ وَأَبُو مُحَمَّدٍ : عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ السُّكَّرِىُّ قَالاَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ اْلبَيْهَقِي فِي سُنَنِهِ)
Artinya: “Telah mengkhabarkan kepada kami Abû ‘Ali al-Rûdzabâri dan Abû Muhammad, Abdullah bin Yahya bin Abdi al-Jabbâr al-Sukkrî keduanya berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Ismâ’il bin Muhammad al-shafar, telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin ‘Arafah telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. Baihaqî dalam kitab sunannya)[8]

2.      Sunan Ibnu Mâjah

حَدَثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : « لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْجُنُبُ ، وَلاَ الْحَائِضُ » (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَة فِي سُنَنِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyâm bin ‘Ammâr, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, telah menceritakan kepada kami Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca al-Qur’an”. (HR. Ibnu Mâjah dalam sunannya)[9]

3.      Sunan At-Dâruqutnî ( ada 2 riwayat)
a.       Riwayat Ibnu Umar
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :   « لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ ، وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ اْلدَارُقُطْنِي فِي سُنَنِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Abdul Azîz, telah menceritakan kepada kami Dawud bin Rusyaid, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh orang yang junub dan haid membaca al-Qur’an sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. Ad-Dâruqutnî dalam kitab sunannya)[10] 

b.    Riwayat Jâbir:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِىٍّ الأَبَّارُ حَدَّثَنَا أَبُو الشَّعْثَاءِ عَلِىُّ بْنُ الْحَسَنِ الْوَاسِطِىُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو خَالِدٍ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ وَلاَ النُّفَسَاءُ الْقُرْآنَ ». (رَوَاهُ اْلدَارُقُطْنِي فِي سُنَنِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ziyâd, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Ali al-Abbâr, telah menceritakan kepada kami Abû al-Sya’tsâi ‘Ali bin al-asan al-Wâsithi, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abû Khâlid dari Yahya dari Abî al-Zubair dari Jâbir berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang haid, junub, dan nifas membaca al-Qur’an”. (HR. Ad-Dâruqutnî dalam kitab sunannya)[11] 
4.      Musnad Al-Bazzâr
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَن النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم ، قَالَ : « لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ ، شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Musa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. Al-Bazzâr dalam musnadnya)[12]

5.      Mu’jam Al-Muqri’

حَدَّثَنِي أَبُو بَكًرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفرٍ بْنِ يَحْيَى بْنِ رُزَيْنِي الْعِطَارِ الْحَمْصِي بِحَمْصٍ فِي مَا قَرَأْتُهُ عَلَيْهِ ، فَأَقَرَّ لِي بِهِ ، حَدَّثَنَا أَبُوْ إِسْحَاق إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْعَدَاءِ الْزُبَيْدِي زَبْرِيْق ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، ثَنَا مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ وَعُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ إِبْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ » (رَوَاهُ إِبْنُ الْمُقْرِئٍ فِي مُعْجَمِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Abû bakar Muhammad bin Ja’far bin Yahya bin Rujaini al-‘Ithâr al-Hamshî mengenai al-Qur’an yang aku baca kepadanya, maka tetapkanlah hukum kepadaku, telah menceritakan kepada kami Abû Ishâq Ibrâhim bin al-‘Adâ’i al-Zubaidî Zabriq, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, telah menceritakan kepada kami Mûsa bin Uqbah dan Ubaidillah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca sedikitpun dari al-Qur’an” (HR. Ibnu al-Muqri’ dalam mu’jamnya).[13]

3.    I’tibâr
Setelah dilakukan kegiatan takhrîj sebagai langkah awal penelitian untuk hadis yang diteliti, maka seluruh sanad hadis dicatat dan di himpun untuk kemudian dilakukan kegiatan al-i’tibâr.
Kata al-I’tibâr (الاعتبار) merupakan masdar dari kata "اعتبر" . menurut bahasa al-I’tibār adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis”.
Menurut istilah ilmu hadis, al-I’tibâr berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari hadis yang dimaksud.
Dengan dilakukannya i’tibâr, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, serta metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan i’tibâr adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung berupa periwayat yang berstatus sebagai muttabi’ atau syahid. Yang dimaksud muttabi’ (biasa disebut tâbi’ dengan jamak tawâbi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat nabi. Sedangkan pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa disebut dengan kata jamak yakni syawāhid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat nabi. Melalui i’tibâr akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki muttabi’ dan syahid.[14]
Dilihat dari skema hadis dengan masing-masing mukharrij yang telah dipaparkan diatas bahwa sahabat nabi yang meriwayatkan hadis mengenai larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub adalah sahabat Ibnu Umar dan Jâbir. Dengan demikian periwayat yang berstatus sebagai syahid bagi hadis at-Tirmidzî adalah Jâbir (hadis riwayat Ad-Dâruqutnî). Sedangkan periwayat yang berstatus sebagai muttabi’ adalah:
1.    Hadis at-Tirmidzî yang bersanadkan ‘Ali bin Hujri dan Hasan bin ‘Arafah, Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, Mûsa bin Uqbah, Nâfi’.
2.    Hadis riwayat al-Baihaqî yaitu Abū ‘Ali al-Rūżabāri dan Abū Muhammad, Abdullah bin Yahya bin ‘Abdi al-Jabbâr al-Sukkrî, Ismâ’il bin Muhammad a-afari.
3.    Hadis riwayat Ad-Dâruqutnî yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin Abdul Azîz, Dâwûd bin Rusyaid. Dan hadis Ad-Dâruqutnî yang bersanadkan Ahmad bin Muhammad bin Ziyâd, Ahmad bin Ali al-Abbâr, Abû asy-Sya’tsa’i ‘Ali bin al-Hasan al-Wâsithi, Sulaiman Abû Khâlid, Yahya, Abî az-Zubair
4.    Hadis riwayat Ibnu Mâjah yaitu Hisyâm bin ‘Ammâr.
5.    Hadis riwayat al-Bazzâr semua perawinya sama dengan perawi hadis at-Tirmidzî, oleh karena itu tidak ada muttabi’ dalam riwayat al-Bazzâr.
6.    Hadis riwayat al-Muqri’ yaitu Abû bakar Muhammad bin Ja’far bin Yahya bin Rujaini al-‘Ithîr al-Hamshî,  Abû Ishâq Ibrâhim bin al-‘Adâ’i al-Zubaidi Zabriq.

3    Biografi Sekilas Para Periwayat
Dalam hal ini penulis hanya akan memfokuskan pada para perawi hadisnya at-Tirmidzî, Karena memang makalah ini fokus untuk membahas hadits beliau, sebagaimana yang terdapat dalam latar belakang masalah.
Susunan para perawi hadis at-Tirmidzî tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub adalah Ibnu Umar, Nâfi’, Mûsâ bin Uqbah,  Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, ‘Ali bin Hujr, dan Hasan bin ‘Arafah, At-Tirmidzî.

1.    Ibnu Umar
Nama aslinya adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattāb bin Nufail al-Qurasyî al-Adawî. Sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar (lahir pada tahun 612 M) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadis yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattâb, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua, dan ayah dari Abdurrahman al-Makî (nama “Abû Abdurrahman” sekaligus menjadi kuniyahnya).
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya. Jâbir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abû Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
Dalam ilmu hadis semua ulama’ bahwa semua sahabat adalah adil, baik mereka yang terlibat fitnah atau tidak (كلهم عدول)[15] sehingga kualitas ke- tsiqahanya tidak perlu diragukan lagi.
2.    Nâfi’
Nama aslinya adalah Nâfi’ bin Hurmûz  (Hurmuz dinisbatkan pada nama ayahnya, ada juga yang mengatakan bin Kawus), beliau lebih dikenal dengan nama Nâfi’ Maula Abdullah bin Umar bin al-Khattâb al-Qurasyî al-‘Adawî. Nama julukannya adalah Abû Abdullah al-Madanî. Beliau berasal dari Naisaburi, ada yang mengatakan dari Kabul, namun setelah itu ia menetap dan berdomisili di Madinah.
Komentar ulama’ terhadap Nâfi’:
1.    Muhammad bin Sa’ad menyebutkan: beliau termasuk kalangan sahabat yang berdomisili di Madinah, tsiqah, banyak meriwayatkan hadis.
2.    Basysyar bin Umar al-Zihrânî berkata: “Aku percaya informasi dari umar yang disampaikan oleh Nâfi’.
3.    Uman bin Sa’îd al-Dârimî berkata: Tsiqah
4.    Al-Ijliyyu berkata: termasuk kalangan sahabat madinah, ia tsiqah.
5.    Ibnu Khirasy berkata: Tsiqah
6.    An-Nasâ’i berkata: Tsiqah
7.    Yahya bin Ma’în berkata: Tsiqah[16]

3.    Mûsâ bun Uqbah
Nama lengkapnya adalah Mûsâ bin Uqbah bin Abî ‘Ayyâsy al-Qurasyî al-Asadī al-Mirafī, nama julukan beliau adalah Abû Muhammad al-Madanî. Beliau adalah pelayan keluarga Zubair bin ‘Awwâm, beliau sehari-harinya berdomisili di Madinah. Beliau wafat pada tahun 141 H
Komentar para Ulama’ terhadap Mûsâ bin ‘Uqbah:
1.    Ibnu Mundir mengatakan: Tsiqah
2.    Muhammad bin Sa’îd berkata di dalam kitab shaghirnya: beliau termasuk kalangan tâbi’in yang tsiqah dan banyak meriwayatkan hadis
3.    Abû Khâtim: beliau orang yang salih
4.    Ahmad bin Hambâl: Tsiqah
5.    An-Nasâ’i: Tsiqah
6.    Ibnu Hâjar al-Asqalânî: Tsiqah lagi faqîh
7.    Yahya bin Ma’in: Tsiqah
8.    Al-Dzahabi: Tsiqah, mufti.[17]

4.    Ismâ’il bin ‘Ayyâsy
Nama lengkap beliau adalah Ismâ’il bin ‘Ayyâsy bin Sulaim al-‘Ansî, Abû Khâtim ‘Utbah al-Khamshî. Beliau sering dijuluki dengan nama Abû ‘Utbah. Al-Mufaddil mengatakan bahwa al-‘Ansî adalah nisbah kepada tuannya, karena Ismâ’il bin ‘Ayyâsy adalah pembantu dari Ansi. Para ulama hadis berbeda pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau, ada yang mengatakan pada tahun 102 H, ada yang mengatakan yang mengatakan 105 H, ada yang mengatakan 110 H, ada yang mengatakan 106 H, ada yang mengatakan 108 H. Para ulama’ hadis juga berbeda pendapat mengenai tanggal wafat beliau, ada yang mengatakan pada tahun 181 H, ada pula yang mengatakan 182 H. Keseharin beliau atau semasa hidupnya berdomisili di Negara Syam.
Komentar ulama’ terhadap Ismâ’il bin ‘Ayyâsy:
1.    Bukhāri berkata: jika ia meriwayatkan hadis di kalangan penduduk negerinya sendiri yakni Syam maka hadisnya sahih, tetapi bila ia meriwayatkan hadis selain dari Syam maka hadisnya dipertanyakan ( banyak pendapat disana).
2.    Ad-Dârimî berkata: Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dipercaya dikalangan orang-orang Syam, namun dicela/kacau dikalangan orang-orang Madinah.
3.    Ya’qub berkata: komentar satu kaum mengenai Ismâ’il bin Ayyâsy, “kebanyakan orang lebih mengenal beliau meriwayatkan hadis di Syam, tsiqah lagi adil, tidak ada orang yang membantahnya”, dan kebanyakan orang tidak percaya jika ia meriwayatkan hadis di kalangan orang-orang madinah maupuan makkah karena biasanya ia meriwayatkannya sendiri.
4.    Yahya bin Ma’în berkata: Ismâ’il bin ‘Ayyâsy tsiqah riwayatnya di kalangan orang-orang Syam, sedangkan riwayatnya dikalangan orang-orang Hijaj dan Iraq dinilai kacau hafalannya, bahkan orang-orang Iraq tidak suka hadis yang diriwayatkan darinya.  
5.    Ibnu Abî Syaibah berkata: riwayat hadisnya dipercaya jika dari kalangan sahabat di Syam, sedangkan hadisnya dianggap daif selain dari kalangan sahabat di Syam.
6.    Ahmad bin hambâl berkata: Husnu riwayatihi 'an al-Syamiyyin.
7.    ‘Ali bin al-Madani berkata: Tsiqah bila meriwayatkan hadis dikalangan penduduk Syam, dan daif selain di Syam.
8.    Ibnu Hâjar al-Asqalânî berkata: ia jujur bila meriwayatkan dari negrinya sendiri yakni Syam
9.    Amru bin Al Fallas: Tsiqah bila meriwayatkan hadis dikalangan penduduk Syam, dan daif selain di Syam.
10.   Dahim: Tsiqah bila meriwayatkan hadis dikalangan penduduk Syam, dan daif selain di Syam.[18]

5.    Hasan bin ‘Arafah
Nama lengkapnya adalah Al-âasan bin ‘Arafah bin Yâzid al-‘Abdî, nama kunyahnya adalah Abû ‘Ali al-Bagdadi al-Muaddib. Beliau termasuk kalangan Tâbi’ul Atbâ’ kalangan tua. Semasa hidup beliau lebih banyak berdomisili di Bagdad. Dikatakan bahwa beliau wafat pada tahun 257 H.
Komentar ulama’ terhadap beliau:
1.    Ahmad bin Hambâl berkata: beliau tsiqah dalam meriwayatkan hadis
2.    Ibnu Abî Khâtim berkata: beliau orang yang terkenal dengan kejujurannya
3.    An-Nasâ’i berkata: La ba’sa bih
4.    Ibnu Hâjar al-Asqalânî berkata: Shudûq
5.    Yahya bin Ma’în berkata: beliau tsiqah dalam meriwayatkan hadis
6.    Ad-Dâruqutnî berkata: La ba’sa bih.[19]

6.    ‘Ali bin ujr
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Hujr bin ‘Iyâs bin Muqâtil bin Mukhadisy bin Musyamrij bin Khâlid al-Sa’dî. Nama kunyah beliau adalah Abû Hasan al-Marwazīî
Mengenai tempat tinggal beliau, mula-mula beliau tinggal di Bagdad, kemudian pindah ke Marwa dan menetap disana. Beliau termasuk orang yang sangat hati-hati dalam menjaga hafalannya lagi tsiqah. Beliau termasuk dari kalangan Tâbi'u al-Tâbi'in biasa. Disebutkan bahwa tanggal kelahirannya adalah pada tahun 154 H, sedangkan wafatnya pada tahun 254 Jumadil Ula.
Komentar ulama’ terhadap ‘Ali bin Hujr:
1.    Al-Mawarzî berkata: beliau awalnya tinggal di Bagdad lalu pindah ke Marwa kemudian menetap di desa Zarzam, beliau termasuk orang yang terpandang, beliau juga seorang hāfid.
2.    An-Nasâ’i berkata: Tsiqah, hâfid, terpercaya.
3.    Abû Bakar al-Khattâb berkata: Shudûq, hâfid
4.     Ibnu Hajar al-Asqalânî berkata: Tsiqah, hâfid
5.    Al-dzahabi berkata: Hâfid
6.    Al-Hâkim berkata: beliau termasuk dari kalangan Syaikh.[20]

7.    At-Tirmidzî
Imam At-Tirmidzî nama lengkapnya adalah Abû Mûsâ Muhammad Ibn ‘Îsâ Ibn Saurah Ibn Mûsâ Ibn Al-Dhahak As-Sulami Al-Bughi Al-TirmidzÎ Al-Imam Al-‘Âlim Al-Bari’. Ahmad Muhammad Syakir menambahnya dengan sebutan Al-Zhahir karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya Imam Al-Tirmidzî terkenal dengan sebutan Abû Îsâ. Beliau dilahirkan di tepi selatan sungai Jaihun, Usbekistan, di kota Tirmidz.

Komentar ulama’ terhadap At-Tirmidzî
1.    Ibnu Hibbân menuturkan: “Abu 'Îsâ adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadis, membukukan, menghafal dan mengadakan diskusi dalam hal hadis.”
2.    Abû Ya'la al-Khalili menuturkan: “Muhammad bin 'Îsâ at-Tirmidzî adalah seorang yang tsiqah menurut kesepakatan para ulama, terkenal dengan amanah dandan keilmuannya.”[21]

D.   Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai biografi para perawi diatas, bahwa hadis at-Tirmidzî yang bersanadkan Ibnu Umar, Nâfi’, Mûsâ bin Uqbah, Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, Hasan bin ‘Arafah, dan ‘Ali bin Hujr, kemudian at-Tirmidzî adalah bersambung secara sanadnya, karena satu dengan yang lainnya diantara mereka menjadi guru dan murid, dan memungkinkan untuk bertemu.
Namun dilihat dari kualitas dari masing-masing perawi berdasarkan komentar para ulama’ diatas, terdapat perawi yang dinilai daif, yakni Ismâ’il bin Ayyâsy. para ulama’ menilai bahwa riwayat Ismâ’il bin Ayyâsy dinilai daif jika meriwayatkan hadis selain negerinya sendiri yakni di kalangan orang-orang syam. Dan ternyata dalam hadis ini beliau meriwayatkannya dari Mûsâ bin Uqbah yang ternyata berasal dari Madinah.   
Oleh karenanya, berdasarkan hasil kritik terhadap sanad yang telah penulis paparkan diatas, maka hadis at-Tirmidzî tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub  nilainya berstatus daif. Dengan demikian hadis riwayat at-Tirmidzî ini tidak dapat dijadikan hujjah terhadap larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub.
Imam al-Bazzâr dalam kitab ‘Illal al-Râzi mengatakan bahwa yang benar hadis ini adalah mauquf yakni terhenti pada sahabat Ibnu Umar, artinya ini bukanlah sabda Rasullah akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar saja.[22]
Al-Hâfizh Ibnu Hâjar al-Asqalânî mengatakan bahwa didalam kitab Bukhâri tak ada satupun hadis yang menyangkut soal ini, yakni melarang orang junub dan perempuan haid membaca al-Qur’an, dan ini diakui kebenarannya.[23] Dan sejauh penelusuran penulis, memang tidak ditemukan satu hadispun yang melarang perempuan haid maupun orang junub membaca al-Qur’an didalam sahih Bukhâri dan  sahih Muslim.
Sebagai implikasi dari penelitian diatas maka dapat direkomendasikan bahwa hadis riwayat at-Tirmidzî ini tidak dapat dijadikan hujjah terhadap larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub. Oleh karenanya bagi orang junub terlebih bagi para wanita khususnya yang sudah aqil baligh tetaplah boleh membaca alquran meskipun mereka dalam keadaan haid, lebih-lebih bagi para ibu guru dan murid perempuan tetaplah bisa membaca, mempelajari, menghafal, dan mengkaji al- Qur’an disekolah tanpa rasa takut lagi akan larangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Sayyid, Salafuddin, Syarah Hadits Arba’in, Solo: Pustaka Arafah, 2007.
Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, al-, as-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, (tt.)
Daruqutni, Abu Hasan bin ‘Umar bin Ahmad bin Mas’ud bin Nu’man bin Dinar bin Abdullah, al-, Sunan al-Daruqutni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, Jakarta: Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Mesir: Maktabah al-Rusy, 2005
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Miziy, al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, al-, Tahzib al-Kamal fi Asma’I al-Rijal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: PP Al-Munawwir, 1977.
Tirmidzi, Abu Musa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahak al-Sulami al-Bughi, al-, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Maktabah al-Rusy, 2005.   

Sumber : dari sini

wallohu a'lam bish showab