Friday, August 23, 2013

Iman dan ukhuwah

Ada dua kaidah asasi (pokok) yang menjadi tonggak atas kehidupan seorang muslim dan pemahamannya dalam kehidupan ini, dimana keduanya harus dimiliki agar dapat mampu mengemban amanah yang mulia seperti yang diperintahkan Allah SWT, yaitu: Iman dan Ukhuwah.
Iman kepada Allah, bertaqwa kepada-Nya, adanya perasaan dipantau oleh-Nya pada setiap detik kehidupan, dan ukhuwah karena Allah, adalah yang membuat suatu jamaah muslimah memiliki pondasi kehidupan yang kuat dan kokoh. Mampu menunaikan perannya yang besar dalam mensejahterakan kehidupan umat manusia, dan berperan dalam menganjurkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta menegakkan kehidupan atas dasar kebaikan dan membersihkannya dari segala kemungkaran.
Iman dan ukhuwah, dua pondasi utama yang menjadi kemestian hidup suatu jamaah muslimah sehingga mampu menunaikan perannya yang agung dan mulia. Jika salah satunya sirna maka tidak akan ada jamaah muslimah dan tidak akan mampu melaksanakan perannya di muka bumi ini.
Yang utama adalah keimanan dan taqwa… Taqwa yang mampu mencapai pada kesempurnaan penunaian hak-hak Allah yang Maha Agung. Taqwa yang terus berkesinambungan dan selalu awas, yang tidak pernah lalai dan futur dalam setiap waktu dari masa hidupnya hingga datang ajal menjemputnya.
Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa”. (QS. 3: 102).
Bertaqwalah kepada Allah; demikianlah perintahnya tanpa ada batasan, menuntut hati untuk bersungguh-sungguh mencapainya seperti yang digambarkan dalam diri dengan segala kemampuannya, setiap kali hati mengalami keteledoran maka akan terungkap aspek-aspek kelemahannya lalu setelah itu akan bertambah rasa rindu kepada Rabb-nya. Setiap kali merasakan kedekatan dan taqwa kepada Allah, bangkit rasa kerinduannya ke jenjang yang paling tinggi dan menuju peringkat yang dapat mencapai pada maqom (kedudukan) yang mampu membangkitkan hatinya yang tidak akan pernah istirahat (tidur).
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berserah diri”, sesungguhnya kematian merupakan kepastian, namun mati juga merupakan hal gaib yang tidak diketahui manusia kapan datangnya. Maka barangsiapa yang tidak ingin mati kecuali dalam keadaan Islam maka dia harus berada dalam setiap waktunya berada dalam keadaan berserah diri (Islam). Dan disebutkan nya kata “Islam” setelah “taqwa” berarti memiliki makna yang sangat luas, yaitu berserah diri, atau berserah diri kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mengikuti manhajnya serta berhukum kepada kitabnya…
Setiap perkumpulan yang jauh dari iman, maka perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahili…
Adapun yang kedua adalah ukhuwah; ukhuwah karena Allah, di atas manhaj Allah dan dalam merealisasikan manhaj Rabbani yang agung. “Dan berpegang teguhlah kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah saat itu kalian saling bermusuhan maka disatukan antara hati kalian maka jadilah dengan Nikmat Allah saling bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. 3 : 103)
Gambaran di atas yang dilukiskan Al-Quran terhadap mereka yang bertemu dalam tali (agama) Allah dan menjadikannya sebagai manhaj, perjanjian dan agamanya, merupakan pertemuan yang bukan sekadar pertemuan untuk mencapai keuntungan yang nisbi atau mencapai tujuan tentunya, namun pertemuan yang berdasarkan pada ukhuwah islamiyah.
Persaudaraan yang terjaga dengan tali Allah merupakan kenikmatan yang diberikan Allah atas jamaah muslimah; yaitu nikmat yang diberikan bagi mereka yang dicintai dan dikehendaki Allah dari hamba-hamba-Nya. Hal ini mengingatkan kepada kita akan nikmat yang begitu besar, dan mengingatkan kita bagaimana kita sebelumnya dalam keadaan jahili saling bermusuh-musuhan.
Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki permusuhan antara kaum Aus dan Khazraj di kota Madinah sebelum Islam. Namun setelah masuk Islam, Allah menyatukan hati di antara mereka. Tidak ada solusi sedikit pun kecuali Islam yang dapat menyatukan hati yang beragam bentuknya, tidak ada yang terjadi kecuali karena tali Allah yang dapat menyatukan mereka menjadi saudara, dan tidak mungkin hati-hati itu akan bersatu kecuali karena ukhuwah fillah.
Karena itulah marilah sama-sama kita satukan hati karena Allah, karena keimanan tanpa ukhuwah akan hampa sedangkan ukhuwah tanpa iman akan sirna. []

Sumber: dakwatuna

Friday, August 16, 2013

Renungan Syawal



Saudariku,

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Takbir kemenangan telah berkumandang di seluruh penjuru dunia. Takbir kemenangan? Ya..itulah takbir kemenangan bagi mereka yang telah berhasil berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Fajar di pagi 1 Syawal ini menandakan babak baru dalam kehidupan setiap mukmin. Bagaimana tidak, kita telah mendapat pendidikan, pembinaan, pelatihan selama sebulan penuh. Semoga memang selepas Ramadhan, segala kebiasaan baik yang dilakukan tetap bisa diistiqomahkan.

Saudariku,
Mari kita tengok yaumiah kita beberapa hari belakangan selepas Ramadhan, bagaimana tilawah Al Qur’an kita? Bagaimana qiyamul lail kita? Apakah kita sholat shubuh berjamaah di masjid? Sudahkah kita baca dzikir Ma’tsurat (minimal) tiap pagi ? Sholat dhuha? Sudah membayar hutang puasa? Shoum syawal? Bagaimana? Jikalau semuanya lebih baik dibandingakan di bulan Ramadhan atau setidaknya sama, maka bersyukurlah. Allah telah menggerakkan hati, mata, tangan dan kaki kita untuk menjaga ibadah yaumiah tersebut. Tidak mudah memang, apalagi jika niat tidak ada, tidak tumbuh azzam dan tidak ada usaha. Sekali lagi bersyukurlah… Ya muqollibal quluub, tsabbit quluubana ‘ala diinik, ‘ala thoo’atik.

Saudariku,
Takbir tanda kemenangan itu juga berarti genderang perang telah ditabuh. Waspadalah terhadap bisikan-bisikan syaitan yang berseliweran. Baru saja berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan yang mulia dimana kita ingin setiap detiknya bisa memperkuat iman kita pada-Nya, ingin selalu beribadah, namun apakah ada yang berubah dari kebiasaan kita sekarang? Khususnya saat berupaya menghidupkan ibadah-ibadah sunnah. Anggaplah ibadah wajib kita tetap lancar, tanpa penghalang. Bukan tidak mungkin si dia ini membisikkan di hati kita, “santai sajalah dalam beribadah…bukankah kemarin sebulan penuh sudah banyak amalan yang dikerjakan. Sekarang saatnya menikmati kemenangan. Hura-hura, santai-santai”. Jangaaan ! Jangan sampai kita terhasut bujuk rayunya karena sejatinya ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan adalah pelatihan, pendidikan, dan pembiasaan. Sehingga selepas ramadhan dimaksudkan ibadah-ibadah tersebut semakin ringan untuk dikerjakan. Lagi pula bukankah kita hamba Allah, dan bukan hamba Ramadhan? Artinya, kapanpun ibadah kita tetap harus diistiqomahkan.

Saudariku,
Apakah kita termasuk mereka yang tergoda bujuk rayu syaitan? Naudzubillahi min dzalik. Semoga tidak. Kalaupun ada perubahan yang drastis (perubahan kea rah yang tidak baik), bisa jadi itu tanda ketidaksuksesan ramadhan kita atau kurang kuatnya semangat istiqamah di dalam diri kita. Mari kita introspeksi diri…

Saudariku,
Dalam sebuah hadits disebutkan : “Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]
Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendapat rahmat dan maghfirah Allah, juga keberkahan di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa tolak ukur kesuksesan Ramadhan kita, di antaranya :

(1) Menjadi Orang yang Ikhlas
Puasa Ramadhan menggembleng kita dalam mengikhlaskan niat, dimana puasa Ramadhan hanya dilakukan untuk Allah semata, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ: الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللهُ تَعَلَى: إلاَّ الصِّيَامُ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أَجْزِيْ بِـهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
Setiap amal anak Adam akan dibalas berlipat ganda. Satu kebaikan akan dibalas 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Puasa ini untuk diri-Ku dan Aku akan membalasnya (dengan pahala tanpa batas). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya demi diri-Ku….” [Shahih Muslim: 1151]
Inilah esensi ajaran tauhid. Jika ibadah Anda setelah Ramadhan tidak lagi bergantung pada tendensi selain-Nya, seperti riya’ dan sum’ah yang tergolong syirik kecil (lebih-lebih syirik besar), maka ini boleh jadi—In syaa Allah—pertanda yang baik diterimanya amal Ramadhan Anda.
(2) Semakin Ringan dan Nikmat Dalam Melakukan Amal Ketaatan
Puasa Ramadhan juga menempa seseorang untuk meningkatkan kadar keikhlasan ibadahnya. Karena di dalam puasa, hamba tidak dituntut sekedar menahan makan, minum dan syahwat semata, tapi juga lisan dan hatinya dari ketidaksabaran atau dari amal yang tidak bermanfaat.
وَإذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإنْ سَبَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“…Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah melakukan rafats (seperti berbicara porno atau keji) dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada orang yang hendak mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia (bersabar dan) berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa…” [Shahih Bukhari:IV/88]
Dan ini sudah barang tentu membutuhkan tingkat keikhlasan yang lebih. Karena dengan keikhlasan seadanya, sangat sulit untuk mampu menghindar dari larangan-larangan semisal dalam hadits di atas.
Ketika semakin tinggi keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula keridhaannya terhadap Allah. Semakin besar keridhaan hamba kepada Allah, semakin ringan baginya dalam melaksanakan ketaatan pada-Nya. Jika Anda merasakan hal tersebut di luar Ramadhan, maka berbahagialah. Anda yang tadinya merasa terbelenggu ketika hendak melangkah untuk beramal, Anda yang kemarin selalu tidur berselimut futur (malas, jenuh dalam beramal), tiba-tiba menjadi orang yang bangkit beramal shalih setelah Ramadhan, maka tersenyumlah dan ucapkan Tahmid (Alhamdulillah), karena Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
Setelah merasa ringan dalam melakukan amal ketaatan (terutama ibadah yang wajib), dan Anda telah istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, maka pada tahap berikutnya Anda akan merasakan kenikmatan dalam beribadah. Jiwa dan raga Anda merasa butuh untuk beribadah. Hati akan terasa hampa dan merugi ketika luput dari satu bentuk ibadah, sekalipun tanpa disengaja.
(3) Semakin Jauh dari Maksiat
Ini karena puasa adalah tameng yang membentengi hamba dari perbuatan maksiat. Sebagaimana hadits Rasulullah r:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأحْسَنُ لِلْفَرْجِ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai sekalian anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih tangguh memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa bisa menjadi perisai baginya (dari kemaksiatan).” [Shahih Bukhari: IV/106 dan Shahih Muslim: 1400 dari sahabat Ibnu Mas’ud]
Maka jika keadaan Anda lebih jauh dari maksiat jika dibandingkan dengan kondisi Anda sebelum Ramadhan, maka ber-husnuzzon-lah kepada Allah, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
(4) Cinta pada Al-Qur-an
Orang-orang yang sukses di bulan Ramadhan akan bertambah rajin membaca al-Qur-an di luar Ramadhan jika dibandingkan dengan waktu sebelum Ramadhan. Karena bulan ini adalah “Bulannya al-Qur-an”, tiada hari tanpa membaca al-Qur-an. Sehingga kebiasaan mulia ber-wirid dengan tilawah al-Qur-an tentunya akan tetap berlanjut setelah Ramadhan.
(5) Menjadi Dermawan
Hikmah puasa memberikan kita kesempatan untuk merasakan penderitaan kaum dhuafa’ dan fakir miskin. Dari sini diharapkan tumbuh kesadaran sosial yang tinggi dengan menyantuni mereka, menyayangi serta meringankan beban mereka. Kewajiban zakat fithrah di akhir Ramadhan juga mengajarkan hal ini. Selepas Ramadhan, orang-orang yang sukses akan lebih dermawan.
(6) Loyalitas (Wala’) Sesama Muslim Semakin Kokoh
Ramadhan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Renungkanlah bagaimana Allah menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang menyediakan ifthar (buka puasa) bagi saudaranya:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” [Ahmad: IV/114-116, shahih menurut at-Tirmidzi: 804]
Belum lagi selama Ramadhan, banyak kegiatan yang bersama-sama, seperti sholat tarawih berjama'ah, buka puasa bersama, pengajian bersama, dan juga pesantren Ramadhan. Ramadhan benar-benar menjadi momentum bagi kita untuk merekonstruksi makna al-Wala’ yang sempat runtuh dan terkubur. Dengan demikian, rasa cinta dan persaudaraan Islam pun akan bersemi. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan, senantiasa menjaga bangunan al-Wala’ tetap kokoh menjulang, baik di luar Ramadhan sekalipun. Selepas ramadhan ini pun, rasanya kita langsung di-test. Di awal bulan Syawal ini, kita mendengar kabar duka dari saudara-daudara kita di Mesir, juga Syiria. Sudahkah kita melakukan sesuatu untuk mereka? Setidaknya kita mendoakan mereka semuanya. Sudahkah?
(7) Do’a yang Terkabul
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ
Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, punya satu kesempatan do’a yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka.” [Hadits Shahih, Ibnu Majah: I/557]
Jika do’a yang Anda panjatkan saat Ramadhan menjadi kenyataan, maka ucapkanlah kalimat syukur, kemudian Anda boleh berharap dengan yakin, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
(8) Semakin Mendalami Ilmu Agama
Boleh dibilang ini adalah indikasi terbesar bagi seorang hamba yang telah meraih sukses di bulan Ramadhan. Karena buah dari sukses Ramadhan adalah dilimpahkannya berbagai kebaikan kepada hamba. Dan Allah jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya yang terpilih, Dia terlebih dahulu akan mempersiapkan hamba-Nya tersebut untuk memahami ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ
Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, Maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Shahih Bukhari: 71 dan Shahih Muslim: 1037]
Mafhum mukholafah dari hadits ini adalah; bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya (berarti) tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah [al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 49]. Dan yang demikian ini mustahil bagi mereka yang benar-benar sukses di bulan Ramadhan di mata Allah. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan pasti akan mendapat limpahan kebaikan dari Allah, dan indikasinya akan terlihat jelas setelah Ramadhan, dari usahanya yang lebih serius dalam menuntut dan memahami ilmu agama. 
Imam Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala.” [Syarh Shahih Muslim: VII/128]
Jika kita renungkan ucapan Imam Nawawi: “…ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala”, maka akan nampak jelas korelasi antara mendalami ilmu agama dengan tujuan utama puasa Ramadhan yang disebutkan dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Kesimpulannya, jika kita sukses menjalani Ramadhan, maka kita pasti akan menjadi orang yang bertakwa, sementara ilmu adalah kendaraan yang akan mengantarkan kita kepada takwa (sebagaimana ucapan Imam Nawawi di atas). Dengan kata lain bahwa: orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan akan dipersiapkan oleh Allah untuk mendalami ilmu agama, demi meraih apa yang telah Ia janjikan sebagai buah dari berpuasa yaitu takwa. 

Saudariku,
Jika masalahnya ada pada keistiqomahan kita, patutlah kita renungkan kembali ayat-ayat-Nya dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah.
Dari Abu Amr (ada yang mengatakan Abu Amrah) Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafy ra berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang islam yang tidak akan kutanyakan kepada seorang pun, selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah Aku beriman kepada Allah, lalu istiqomahlah.” (HR Muslim)
Memang pesan rasulullah ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dikerjakan, tetapi itu bukan alasan untuk tidak mengupayakannya secara optimal. Mengapa? Lihatlah bagaimana janji Allah bagi orang-orang yang istiqomah…janji terindah-Nya yakni jannah.
Dalam Al Qur’an Surat Fushilat ayat 30 Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap teguh pada pendiriannya, maka  malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.

Robbana tsabbit quluubana 'ala diinik...

Wallohu a'lam bish showab

Leuven, 9 Syawal 1434 H

Thursday, August 15, 2013

Mengingat Mati (Dzikrul Maut)





disarikan dari tausyiah saat menjelang buka bersama di pengajian KPMI Belgia

"Perbanyaklah mengingat pelenyap kelezatan (kematian)" (ibnu Daqiqil eid)
Orang yang senantiasa mengingat kematian setidaknya akan memiliki tiga hal, yakni :
1. Rajin beribadah (ibadah dalam arti luas, bukan hanya ritual)
2. Bersifat qana'ah (bersyukur)
3. Menyegerakan taubat

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, "Kita ditentukan oleh akhir kehidupan kita."

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam menyebutkan kematian, diantaranya:
1. Al maut. : kematian
Imam Al Qurtubi menyebutkan bahwa kematian itu hakekatnya bukan dari ada menjadi tiada, tetapi hanya perpindahan alam saja. Sebagaimana dalam surat Al Baqarah disebutkan bahwa empat alam yang akan dilalui oleh setiap manusia adalah : mati - hidup (di dunia) - mati - hidup (di akhirat)
2. Wafat : sempurna
Dalam al Qur'an surat Ali Imron disebutkan istilah ini, maksudnya adalah orang yang wafat adalah orang yang telah sempurna jatah umurna, sempurna nikmatnya.
3. Al musibah (QS Al Maidah 106)
4. Al yaqin (QS Al Hijr 99)

Wafat itu ada dua macam, yakni :
1. Sughro --> tidur
2. kubro --> mati

"Setiap yang bernyawa pasti akan mati"

tanda-tanda menjelang kematian :
1. telah berusia 60/70 tahun
2. beruban (QS Fathir 37)

Dalam Al Qur'an surat Fushilat 30-32, Allah memberikan gambaran kematian orang mukmin.

Lantas bagaimana persiapanmenyambut kematian ini?
1. Perbanyak taubat dan istighfar
kalau ada hak-hak orang lain, segera tunaikan. Karena jika kita berhutang kepada sesama, dia akan bisa menagihnya di akhirat.
2. Perbanyak amal sholeh
3. Berdekat-dekat dengan orang sholeh
4. Perbanyak amal jariyah
"Jika anak Adam meninggal, amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak yang soleh yang berdoa kepadanya". (HR. Muslim)

Semoga Allah matikan kita dalam keadaan khusnul khotimah...aamiin

Puasa Syawal



Disunnahkan mengiringi puasa Ramadlan dengan puasa enam hari di bulan Syawal dan itu sebanding dengan puasa selama setahun.

Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun”.[1]

Dari Tsauban radliyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ السَّنَةِ.
”Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan maka puasa sebulan itu sama dengan sepuluh bulan; dan dengan puasa enam hari setelah berbuka (‘Iedul-Fithri), maka ia melengkapi puasa setahun”.[2]

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (3/238) :
قال العلماء: وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين، وقد جاء هذا في حديث مرفوع في كتاب النسائي
”Para ulama mengatakan bahwa hal itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i” [selesai].
 Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy (4/438) :
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِن شَوَّال مُستَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. رُوِيَ ذلك عَنْ كَعْب الأَحْبَاب، وَالشَّعْبِيِّ، وَمَيْمُونِ بن مِهْرَانَ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ.
“Kesimpulan dari hal itu adalah bahwa puasa enam hari pada bulan Syawwal disunnahkan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama’ dan hal itu diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, Asy-Sya’bi, dan Maimun bin Mihran; dan hal ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy” [selesai].

Puasa enam hari ini dinyatakan sunnah oleh Asy-Syafi’iy, Ahmad[3], dan ulama yang sependapat dengan mereka. Dalil mereka adalah hadits shahih yang menegaskan hal itu. Sedangkan yang melarang puasa ini adalah Hasan Al-Bashri rahimahullah.

Dari Israil bin Abi Musa dari Hasan Al-Bashri, ia berkata : “Apabila disebutkan puasa enam hari bulan Syawal di dekat Al-Hasan, maka ia berkata :
والله لقد رضي الله بصيام هذا الشهر عن السنة كلها
”Demi Allah, Allah telah ridla puasa satu bulan ini (Ramadlan) sebagai puasa untuk satu tahun penuh”.[4]
Ibnu Rajab dalam Lathaaiful-Ma’aarif (hal. 398) setelah menyebutkan atsar Al-Hasan mengatakan :
على من اعتقد وجوب صيامها وأنه لا يكتفي بصيام رمضان عنها في الوجوب وظاهر كلامه يدل على هذا
“Barangkali pengingkarannya itu ditujukan terhadap orang yang meyakini puasa enam hari itu wajib, dan menurutnya puasa Ramadlan telah menjadi kewajiban untuk satu tahun. Dhahir perkataannya memang menunjukkan itu” [selesai].

Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Malik[5] menyatakan makruh. Abu Yusuf berkata :
يتبعوا رمضان صوما خوفا أن يلحق ذلك بالفرضية
“Para ulama kalangan Hanafiyyah memandang makruh mengiringi puasa Ramadlan dengan puasa lain (puasa enam hari bulan Syawal) karena dikhawatirkan akan disamakan dengan puasa wajib”.[6]

Dalam Al-Muwaththa’ (1/330) disebutkan :
مَنْ صَامَ مالكا يقول في صيام ستة أيام بعد الفطر من رمضان إنه لم ير أحدا من أهل العلم والفقه يصومها ولم يبلغني ذلك عن أحد من السلف وإن أهل العلم يكرهون ذلك ويخافون بدعته وأن يلحق برمضان ما ليس منه أهل الجهالة والجفاء لو رأوا في ذلك رخصة عند أهل العلم ورأوهم يعملون ذلك
“Yahya berkata : Aku mendengar Malik berkata tentang puasa enam hari setelah berbuka (‘Iedul-Fithri) dari bulan Ramadlan : Bahwasannya ia (Malik) tidak melihat seorang ulama pun dan fuqahaa yang melakukan puasa ini dan ia juga tidak mendengar itu seorang pun dari kaum salaf. Para ulama telah memakruhkannya dan mereka takut itu termasuk bid’ah. Mereka juga takut orang yang tidak mengerti akan menyamakannya dengan puasa Ramadlan ketika mereka melihat ulama membolehkannya dan melakukannya” [selesai].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Syarhul-‘Umdah (2/559) :
“Al-Imam Ahmad mengingkari orang yang memakruhkan puasa Syawal karena takut ada puasa selain Ramadlan yang disamakan dengan puasa Ramadlan. (Al-Imam Ahmad mengingkarinya) karena keutamaan dan anjuran puasa ini telah dijelaskan dalam sunnah. Kekhawatiran akan disamakan dengan puasa Ramadlan bisa terjadi bila dilakukan di awal Ramadlan tanpa ada pemisah antara puasa Ramadlan dan puasa selainnya. Sedangkan bila dilakukan di akhir Ramadlan, maka di antara keduanya telah dipisahkan oleh hari raya. Dan larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap puasa hari raya menunjukkan bahwa larangan itu memang khusus berlaku di hari itu saja, sedangkan hari-hari setelahnya adalah hari yang dibolehkan dan diijinkan berpuasa. Sebab bila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mau, tentu beliau akan melarang puasa di semua hari (bulan Syawal) sebagaimana beliau melarangnya di awal bulan Ramadlan dalam sabdanya :
مَنْ صَامَ بِصَومِ يَومٍ وَلَا يَوْمَيْنِ.
“Janganlah kalian mendahului puasa Ramadlan dengan puasa sehari atau dua hari (sebelumnya)”.[7] [selesai].
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul-Authaar (4/282) :
مَنْ صَامَ على ذلك بأنه ربما ظن وجوبها وهو باطل لا يليق بعاقل فضلاً عن عالم نصب مثله في مقابلة السنة الصحيحة الصريحة وأيضاً يلزم مثل ذلك في سائر أنواع الصوم المرغب فيها ولا قائل به.
مَنْ صَامَ الكراهة بما قال في الموطأ من أنه ما رأى أحداً من أهل العلم يصومها ولا يخفى أن الناس إذا تركوا العمل بسنة لم يكن تركهم دليلاً ترد به السنة.
“Abu Hanifah dan Malik berkata : ‘Makruh hukumnya puasa Syawal’. Mereka berargumentasi bahwa mungkin itu akan dianggap puasa wajib. Ini adalah pendapat yang bathil dan tidak pantas dilakukan oleh orang yang memiliki akal pikiran, apalagi seorang ulama seperti mereka dalam menentang sunnah yang shahih dan sharih (jelas). Kemudian pandangan seperti itu akan berlaku pula pada semua puasa yang dianjurkan agama dan tak seorang pun yang mengatakan demikian.

Sementara Malik berargumentasi dalam memakruhkannya sebagaimana yang ia katakan dalam Al-Muwaththa’ bahwa ia tidak pernah melihat seorang pun ulama yang melakukannya. Padahal sangat jelas bahwa bila manusia tidak mengamalkan sunnah, tidak berarti itu dapat menolak sunnah” [selesai].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah saat mengomentari pendapat Malik berkata dalam Al-Istidzkaar (3/379) :
مَنْ صَامَلم يبلغ مالكا حديث أبي أيوب على أنه حديث مدني والإحاطة بعلم الخاصة لا سبيل إليه والذي كرهه له مالك أمر قد بينه وأوضحه وذلك خشية أن يضاف إلى فرض رمضان وأن يستبين ذلك إلى العامة وكان - رحمه الله - متحفظا كثير الاحتياط للدين
الأيام من شوال على طلب الفضل وعلى التأويل الذي جاء به ثوبان - رضي الله عنه - فإن مالكا لا يكره ذلك إن شاء الله لأن الصوم جنة وفضله معلوم لمن رد طعامه وشرابه وشهوته لله تعالى وهو عمل بر وخير وقد قال الله عز وجل وافعلوا الخير الحج 77 ومالك لا يجهل شيئا من هذا.
مَنْ صَامَولم يكره من ذلك إلا ما خافه على أهل الجهالة والجفاء إذا استمر ذلك وخشي أن يعدوه من فرائض الصيام مضافا إلى رمضان وما أظن مالكا جهل الحديث والله أعلم لأنه حديث مدني انفرد به عمر بن ثابت وقد قيل إنه روى عنه مالك ولو لا علمه به ما أنكره وأظن الشيخ عمر بن ثابت لم يكن عنده ممن يعتمد عليه وقد ترك مالك الاحتجاج ببعض ما رواه عن بعض شيوخه إذا لم يثق بحفظه ببعض ما رواه وقد يمكن أن يكون جهل الحديث ولو علمه لقال به والله أعلم
“Malik tidak mengetahui hadits Abu Ayyub sebagai salah satu hadits penduduk Madinah. Sebab mengetahui secara mendalam terhadap ilmu tertentu tidak mungkin dilakukan. Apa yang dimakruhkan Mlik telah ia jelaskan, yaitu ditakutkan puasa itu akan disamakan dengan puasa wajib Ramadlan oleh orang awam. Malik rahimahullah termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah agama.
Sedangkan puasa enam hari bulan Syawal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu, maka itu tidak dimakrukan Malik insya Allah. Sebab puasa adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum, dan nafsunya karena Allah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allah telah berfirman : “Dan kerjakanlah kebajikan” (QS. Al-Hajj : 77). Malik tentu mengetahui itu.

Malik tidak memakruhkan puasa Syawal melainkan karena kekhawatirannya bila itu dilakukan langsung (setelah Ramadlan) orang awam akan menganggapnya termasuk pusa wajib Ramadlan. Aku berpikiran Malik tidaklah jahil tentang hadits ini, wallaahu a’lam, karena itu adalah hadits penduduk Madinah yang diriwayatkan sendiri oleh ‘Umar bin Tsaabit. Bahkan dikatakan Malik meriwayatkan darinya. Jadi, jika Malik tidak mengetahui hadits itu, tentu ia tidak mengingkarinya. Dan aku mengira juga bahwa syaikh ‘Umar bin Tsaabit termasuk orang yang tidak diterima Malik. Apalagi Malik tidak menerima hadits yang diriwayatkannya dari sebagian gurunya karena ia tidak percaya dengan hapalannya pada sebagian riwayatnya. Atau mungkin juga Malik memang tidak tahu hadits tersebut. Sebab jika ia tahu, tentu ia tidak mengatakan demikian (mengingkari puasa Syawal). Wallaahu a’lam”. [selesai].

Apakah Syarat Puasa Enam Hari Harus Dilakukan Berturut-Turut ?

“Tidak disyaratkan dilakukan berturut-turut, sehingga boleh saja dilakukan langsung setelah berbuka (pada hari raya) atau terpisah antara keduanya, atau dilakukan berturutan, atau secara acak. Sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صَامَ شَوَّالَ
“Dan iringkanlah puasa Ramadlan dengan puasa enam hari bulan Syawal”.
Dalam satu riwayat :
مَنْ صَامَسِتًّا مِنْ شَوَّالَ
“Enam hari bulan Syawwal”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan bulan Syawwal semua waktu untuk berpuasa tanpa mengkhususkan sebagian dari sebagian yang lain. Seandainya beliau menentukan sebagian saja, tentu beliau mengatakan enam hari pada awal bulan atau enam hari pada akhir bulan. Mengiringi Ramadlan dengan puasa enam hari bisa dilakukan di awal Syawwal dan bisa pula di akhirnya. Sebab pasti antara puasa tersebut dan puasa Ramadlan terpisah dengan hari raya, padahal hari itu juga termasuk bulan Syawwal.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa puasa Syawwal pasti tidak menyatu dengan puasa Ramadlan (karena dipisah dengan hari raya). Kemudian karena melakukannya di awal bulan kuat karena lebih dekat dengan Ramadlan dan lebih bersambung, dan melakukan di akhirnya juga kuat karena menghindari menyatukan puasa Ramadlan dengan puasa selainnya, atau menjadikan hari raya kedua seperti yang dilakukan sebagian orang, maka keduanya adalah seimbang (di awal bulan atau di akhirnya)”.[8]

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :
مَنْ صَامَ إنما قال النبي {صلى الله عليه وسلم} ستة ايام من شوال فإذا صام ستة ايام من شوال لا يبالي فرق او تابع
“Tidak mengapa ia berpuasa, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Enam hari dari bulan Syawwal’. Maka bila seseorang berpuasa enam hari tersebut, tidak masalah apakah ia dilakukan secara acak atau berturutan”.[9]

Adapun kalangan Syafi’iyyah, mereka berpendapat puasa enam hari bulan Syawal disunnahkan untuk dilakukan berurutan, sebagaimana dikatakan An-Nawawi berkata :
مَنْ صَامَ يستحب صوم ستة ايام من شوال لهذا الحديث قالوا ويستحب ان يصومها متتايعة في اول شوال فان فرقها أو أخرها عن أول شوال جاز وكان فاعلا لاصل هذه السنة لعموم الحديث واطلاقه وهذا لا خلاف فيه عندنا وبه قال أحمد وداود
“Para shahabat kami berkata : ‘Disunnahkan puasa enam hari bulan Syawal berdasarkan hadits ini’. Mereka juga berkata : ‘Dan juga disunnahkan berpuasa secara berurutan mulai awal Syawal. Namun jika dilakukan secara acak, atau ditunda hingga akhir bulan, maka itu jga dibolehkan, dan orang yang melakukannya telah menjalankan sunnah sesuai dengan keumuman makna hadits dan kemutlakannya. Tidak ada perbedaan (pendapat) di kalangan madzhab kami. Dan ini juga menjadi pendapat Ahmad dan Abu Dawud”.[10]

Namun pendapat kalangan Syafi’iyyah ini tidak benar, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan disunnahkannya berpuasa secara berurutan kecuali keumuman perintah bersegera melaksankan kebajikan. Perintah (puasa Syawal) ini bersifat longgar sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Bolehkah Mendahulukan Puasa Enam Hari Bulan Syawwal dari meng-Qadla Puasa Ramadlan ?

Jawabannya adalah : Barangsiapa melakukan puasa enam hari bulan Syawwal sebelum mengqadla puasa Ramadlan yang tertinggal, maka dia tidak mendapatkan keutamaannya sebagaimana yang dijelaskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sama dengan puasa setahun. Sebab dalam hadits Tsauban hal itu dijelaskan secara rinci, bahwa satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan puasa enam hari setelah berbuka melengkapi menjadi setahun. Sedangkan orang yang masih hutang puasa Ramadlan belum menyempurnakan puasa sebulan. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul-Mumti’ (6/448) :
مَنْ صَامَ يصومها بعد انتهاء قضاء رمضان لا قبله، فلو كان عليه قضاء ثم صام الستة قبل القضاء فإنه لا يحصل على ثوابها؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال: «من صام رمضان» ومن بقي عليه شيء منه فإنه لا يصح أن يقال إنه صام رمضان؛ بل صام بعضه، وليست هذه المسألة مبنيّة على الخلاف في صوم التطوع قبل القضاء؛ لأن هذا التطوع أعني صوم الست قيده النبي صلّى الله عليه وسلّم بقيد وهو أن يكون بعد رمضان......
“Kemudian, sesungguhnya yang menjadi sunnah adalah ia berpuasa enam hari setelah selesai mengqadla puasa Ramadlan, bukan sebelumnya. Jika ia masih mempunyai kewajiban qadla’ kemudian ia puasa enam hari sebelum menunaikan qadla tersebut, maka ia tidak mendapatkan pahala puasa (yang disebutkan dalam hadits). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan’. Maka jika ia masih mempunyai tersisa hutang puasa Ramadlan, maka tidak benar dikatakan ia telah berpuasa Ramadlan, akan tetapi ia berpuasa pada sebagiannya. Dan permasalahan ini tidaklah termasuk yang dijelaskan mengenai perbedaan (pendapat) bolehnya puasa sunnah sebelum qadla’, karena puasa sunnah enam hari ini telah di-taqyid oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia dilakukan setelah puasa Ramadlan….” [selesai].
[Shiyaamuth-Tathawwu’ Fadlaailun wa Ahkaamun– edisi Indonesia : Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya oleh Asy-Syaikh Usamah bin ‘Abdil-‘Aziiz, Darul-Haq – dengan peringkasan oleh Abul Jauzaa].

[1] Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1164), Abu Dawud (no. 2433), At-Tirmidzi (no. 759), An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (2/no. 2862), Ibnu Majah (no. 1716), Ahmad (5/417 & 419), dan yang lainnya.
[2] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (2/no. 2860 & 2861), Ibnu Majah (no. 1715), Ahmad (5/280), Ad-Darimi (2/21), Ibnu Khuzaimah (no. 2115), Al-Baihaqiy dlam Al-Kubraa (4/393), dan yang lainnya; shahih.
[3] Lihat Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar (3/450), An-Nawawiy dalam Syarh Muslim (3/238), ‘Abdullah bin Ahmad dalam Masaail Ahmad (hal. 193), dan Syaikhul-Islam dalam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam (2/556).
[4] Riwayat ini shahih, dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (3/124) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (3/97) melalui jalan Al-Husain bin ‘Aliy Al-Ja’fiy dari Israil bin Abi Musa, dari Al-Hasan.
[5] Fathul-Qadiir (2/349) dan Al-Muwaththa’ (1/330).
Mayoritas syaikh kalangan Hanafiyyah berpendapat tidak mengapa melakukan puasa enam hari bulan Syawal. Demikian yang dikatakan Ibnul-Hamaam dalam Fathul-Qadiir (2/349) dan Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyyah-nya (3/330). Yang juga berpendapat tidak mengapa melakukan puasa Syawal adalah Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah dan ia mentolerir pendapat Al-Imam Malik sebagaimana akan dijelaskan.
[6] Badaa’iush-Shanai’ (2/78).
[7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1914) dan Muslim (no. 1082).
[8] Syarhul-‘Umdah oleh Ibnu Taimiyyah (2/559).
[9] Masaa’il Abdullah (hal. 193).
[10] Al-Majmu’ (6/379).

sumber : Assunnah Qatar

Monday, August 12, 2013

Saat Do'a Belum Terkabul



 disarikan dari tausyiah selama ramadhan

Alhamdulillah, di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini sempat beberapa kali mendapat kesempatan untuk menimmba ilmu dari para asatidz yang sholeh dan sholehah. Yang luar biasa adalah, beberapa kali kami mendapat tausyiah tentang DO'A. Saya share yaa.... semoga bermanfaat :-)

Berdo'a adalah bentuk keimanan dan kepasrahan seorang muslim pada Rabb-Nya. Berdo'a juga merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh Allah.

Sebagaimana Allah berfirman dalam Al Baqarah 186, " dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."

Dalam kitab Sya'nu al Du'a karya Imam Al Khaththabi disebutkan bahwa qadha dan do'a itu bersaing di langit, maka hendaknya kita mengencangkan do'a. Disebutkan pula bahwa do'a itu sum-sumnya ibadah. Do'a itu bisa merubah apa-apa yang ditentukan (takdir) Allah. *so smangaaaat terus...ketuk pintu langit...*

Jikalau do'a-do'a yang kita panjatkan belum terkabulkan, apa yang sebaiknya kita lakukan? mengeluh, no way! putus asa, no way! protes, no way! Yang sebaiknya dilakukan adalah INTROSPEKSI DIRI dan terus OPTIMIS dalam meminta (berdo'a).

Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan :

1. Koreksi apa yang kita makan dan apa yang kita lakukan.
Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasululloh Saw, “Ya Rasululloh, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul.” Rasululloh menjawab, “Wahai Sa’ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan.” (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” (HR Muslim).

2. Bisa jadi Allah sedang menangguhkan pengabulan do'a kita. Allah sedang menunggu situasi kondisi yang tepat. Kalaupun Allah tidak kabulkan di dunia, yakinlah itu semua akan menjadi investasi di akhirat.

3. Bisa jadi kita tergesa-gesa dalam berdo'a dan berprasangka buruk dengan menyimpulkan bahwa do'a kita tidak dikabulkan oleh Allah.
Allah Yang Maha Tinggi berfirman (Dalam hadits Qudsi):
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْراً تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعاً وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعاً تَقَرَّبْتُ
إِلَيْهِ بَاعاً وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.
“Aku terserah persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya (memberi rahmat dan membelanya) bila dia menyebut nama-Ku. Bila dia menyebut nama-Ku dalam dirinya, aku menyebut namanya pada diri-Ku. Bila dia menyebut nama-Ku dalam perkumpulan orang banyak, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih banyak dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal (dengan melakukan amal shaleh atau berkata baik), maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat (lari)”. HR. Bukhari: 8/171 dan Muslim: 4/2061, lafadz hadits ini dalam shahih Bukhari.


4. Bisa jadi ada dzikir yang tidak diistiqomahkan
Dengan berdzikir, Allah menjamin akan memberikan lebih dari yang diminta. "Siapa orang yang lebih sibuk mengingat-Ku (berdzikir) daripada meminta sesuatu kepada-Ku, ia akan Aku berikan sesuatu melebihi yang orang-orang mohon." (Hadis Qudsi).
Dalam pepatah Arab pun disebutkan bahwa bukti cinta seseorang terhadap sesuatu adalah banyak menyebutnya. Jadi, jika kita mencintai Allah, maka perbanyaklah menyebut-Nya (dzikir).
Dalam adab berdo'a pun disebutkan bahwa sebelum berdo'a hendaknya diawali dengan beristighfar, menyebutkan puji-pujian (Asmaul husna) dan bershalawat.

5. Janganlah kita pernah sekalipun putus asa dari rahmat Allah. Dikabulkannya do'a itulah hak kita, janji yang sudah Allah sebutkan dalam Al Qur'an.
Allah berfirman dalam surat Yusuf : 87, "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir."
Dalam surat Al Baqarah 186, Allah berfirman, " ...aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."

Jazakumullohu khoir ustadz dan ustadzah atas tausyiahnya...

Alhamdulillah, di bulan Ramadhan kali ini saya mendapat banyak pencerahan, khususnya tentang DO'A. Seolah diingatkan tentang do'a-do'a yang selama ini (menurut saya) masih tergantung di langit. In syaa Allah, saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah selalu Maha Baik pada hamba-Nya. Saya akan introspeksi diri, terus memperbaiki diri dan terus meminta.
Ya Rabbi, hamba akan terus menengadahkan tangan ini
hamba akan terus meminta pada-Mu
hamba akan terus menyempurnakan pengabdian pada-Mu
hamba akan terus mohon ampun atas khilaf kami
hamba yakin...
berdo'a ini adalah bentuk ibadah, bentuk keyakinan pada-Mu, bentuk kepasrahan pada-Mu...
tidak akan ada yang sia-sia
Ya Allah, kabulkanlah do'a-do'a kami
Aamiin yaa mujibas saailiin...