Friday, September 13, 2013

Berguru Pada Shahabiyah

Membaca kisah para shahabiyah rasanya tidak ada bosan-bosannya. Bukan karena kisah mereka yang menampakkan sosok sempurna bagi seorang wanita, namun lebih daripada itu. Tampilan sosok wanita yang digambarkan bak bidadari dengan wajah yang selalu berseri- seri, lurus pemikirannya, sopan dalam bertutur kata, dan bijaksana dalam membuat keputusan, namun bukan karena itu juga. Perlu kiranya bagi kita untuk menelusuri kehidupan mereka, hingga kita sadar betapa jauhnya perbedaan antara wanita yang masih menghirup udara segar di zaman nubuwwah dengan wanita zaman sekarang. Dengan demikian insya Allah akan tumbuh rasa ingin belajar dan memperbaiki diri lebih mendekat dengan kehidupan para shahabiyah.
Ummu Sulaim binti Malhan binti Khalid dengan segala kelebihan yang harta yang dimiliki serta garis keturunan yang terhormat tampil dengan ketinggian imannya. Sepeninggal suaminya, Malik tidak serta merta ia menerima lamaran Abu Thalhah yang cukup terkenal dengan timbunan harta serta jabatan yang menjanjikan di kalangan kaum Quraisy. Mungkin kita akan berkata, Ummu Sulaim kan seorang yang kaya. Dan anaknya pun masih satu, Anas bin Malik, yang pastinya bisa dipeliharanya dengan baik hingga ia tidak membutuhkan suami lagi. Namun ternyata bukan itu penyebab penolakan lamaran itu. Tanpa sedikit pun rasa ragu, lamaran itu ia tolak dengan satu alasan bahwa Abu Thalhah masih sombong dengan kekafiran yang dimilikinya. Hingga ketika Abu Thalhah sudah memeluk aqidah yang lurus ini, Ummu Sulaim menerima lamaran kemantapan hati.
Kemudian, ada Ummu Habibah yang mempunyai nama asli Ramlah binti Abu Sufyan. Lahir di tengah keluarga yang kental dengan ajaran nenek moyang dan memiliki ayah yang tidak lain adalah pemuka Quraisy, tidak kemudian hatinya tertutup untuk sebuah hidayah. Karena sejatinya, siapapun yang sudah diberi hidayah oleh Allah maka tidak akan ada yang dapat mencegahnya. Pun sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki hidayah untuk seseorang maka tidak ada satupun yang bisa memaksanya. Ummu Habibah adalah satu contoh kebenaran pernyataan ini. Dengan ketegasannya, beriman kepada Allah dan RasulNya menjadi pilihan saat seruan itu sudah datang.
Ternyata semakin tinggi keimanan seseorang maka semakin tinggi pula ujian yang diterimanya. Ummu Habibah juga mengalami kondisi yang demikian. Setelah bersusah payah memperjuangkan keislamannya di hadapan ayahnya, Abu Sufyan, dia kemudian diuji dengan murtadnya suaminya, Ubaidullah bin Jahsys. Menjadi satu pelajaran yang sangat berharga, di tengah kondisi yang rumit itu, ternyata dia tetap mampu berpegang teguh pada keyakinannya. Dan rencana Allah tentulah sangat indah untuk mereka yang menjaga kesucian dirinya. Akhirnya beliau dipersunting oleh Rasulullah sebagai istrinya. Subhanallah!
Kedua wanita itu patut menjadi panutan kita di tengah hiruk- pikuk dunia ini. Saat harta dan jabatan dirasa lebih mulia dibandingkan keistiqamahan. Saat wanita yang mampu menghasilkan banyak uang setelah sekolah tinggi dianggap hebat walau tanpa sadar mereka telah jauh dari kodratnya sebagai ibu bagi anak- anaknya. Kedua wanita ini juga memberi pelajaran bagi kita ternyata Allah tidak akan memberi beban kepada kita jika kita tidak sanggup. Oleh karena itu, apapun yang kita hadapi saat ini, semua itu adalah bukti Allah cinta pada kita. Allah ingin kita lebih dekat denganNya, setelah selama ini mungkin kita hidup di bawah kesenangan yang melalaikan kita. Kita pun belajar dari kedua mujahidah itu bahwa wanita perlu memiliki prinsip. Karena bagaimanapun keadaan kita kelak di hadapanNya tergantung pada keputusan kita hari ini. Semoga Allah selalu meneguhkan hati kita hingga selalu condong pada kebenaran dan ketaatan padaNya.

Mengusap Sepatu Saat Berwudlu

dikutip dari : http://syariahonline.com/

Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, apakah boleh kita menyapu sepatu sebagai pengganti wudhu? Berhubung saya tinggal di negeri jepang yang mayoritas nonmuslim, dan suhunya pun dingin sekali pas musim dingin, apakah diperbolehkan bila kita menyapu sepatu sebagai pengganti mencuci kaki? Terutama pada saat kuliah, agak sulit dan kurang enak dengan orang jepang bila mencuci kaki di wastafelnya toilet (karena tempat wudhu tidak ada). Kemudian bila kita menyapu sepatu, haruskah kita solat dengan memakai sepatu, atau boleh dilepas sepatunya? Atau sebagai pengganti menyapu sepatu, bolehkah kita menyapu kaos kaki saja? Jazakumullah atas jawabannya. Wassalamu alaikum wr. wb.

Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d.
Menyapu sepatu dengan air saat berwudhu’ sebagai ganti dari mencuci dua kaki dalam istilah fiqih disebut ‘al-mashu ala al-khuffain’. Hal itu boleh dilakukan dengan beberapa persyaratan yang telah digariskan. Dalilnya adalah ketika Rasulullah SAW berwudhu`, salah seorang shahabat mengambilkan air wudhu’ untuknya, ketika giliran mencuci kaki dan sepatu masih dikenakan, beliau mengatakan, ”Biarkan kakiku itu (tidak perlu dilepas sepatunya).” Karena ketika aku mengenakan sepatu, kakiku dalam keadaan suci (dalam keadaan wudhu`). Praktek seperti ini memang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dahulu. Dan menjadi bagian dalam tata aturan berwudhu` terutama bila dalam keadaan udara yang sangat dingin.
Sebagian ulama ada yang membolehkannya hanya pada saat safar (bepergian). Namun yang benar adalah baik dalam keadaan safar atau tidak, bisa diberlakukan. Caranya sama dengan wudhu` biasa kecuali hanya pada ketika hendak mencuci kaki, maka tidak perlu mencopot sepatu, tapi cukup membasuh bagian atas sepatu dari bagian depat terus ke belakang sebagai ganti dari cuci kaki. Sepatu tetap dalam keadaan dipakai dan tidak dilepas. Untuk dibolehkannya tidak mencuci kaki dalam wudhu` dan hanya mengusap bagian atas dari sepatu, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi :
  1. Sebelumnya harus sudah berwudhu` dengan sempurna. Setelah itu bila batal wudhu`nya, maka ketika berwudhu` lagi, tidak perlu mencuci kaki tapi hanya mengusapkan air ke bagian atas sepatu.
  2. Sepatu yang digunakan haruslah yang menutupi hingga mata kaki dan bukan terbuat dari bahan yang tipis tembus air atau tidak ada yang robek.
  3. Untuk musafir, boleh melakukan seperti itu selama masa waktu tiga hari. Sedangkan buat yang tidak musafir, masa berlakunya hanya sehari dan semalam.
  4. Semua itu selama dia tidak mencopot sepatunya. Adapun bila dalam masa itu dia mencopotnya, maka batallah masa berlakunya baik yang sehari semalam atau tiga hari.
  5. Semua yang membatalkan wudhu` otomatis membatalkan wudhu` dengan mengusap pada sepatu.
  6. Keringanan ini merupakan salah satu bentuk kemudahan yang ada dalam syariat Islam. Selain itu ada tayammum, jama` qashar dan lain-lain.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Sudahkah Kita Penuhi Hak Saudara Kita?

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, "Ada enam hak seorang muslim atas saudaranya sesama muslim, yaitu :
1. Bila ia berjumpa, ucapkanlah salam
2. Bila ia diundang, hadirilah
3. Bila dimintai nasehat, maka berikanlah
4. Bila ia bersin dan memuji Allah (mengucap hamdalah), maka bertasymitlah (doakanlah)
5. Bila ia sakit, jenguklah
6. Bila ia meninggal dunia, antarkanlah jenazahnya"

Secara singkat, berikut  uraiannya yaa...
1. Bila ia berjumpa, ucapkanlah salam
Kata Islam sendiri akar katanya dari salama, yang artinya kedamaian. Jadi, Islam datang untuk membawa kebaikan dan kedamaian. Salam itu sendiri juga berarti bahwa Islam itu damai dan muslim itu cinta damai.
2. Bila ia diundang, hadirilah
3. Bila dimintai nasehat, maka berikanlah
4. Bila ia bersin dan memuji Allah (mengucap hamdalah), maka bertasymitlah (doakanlah)
5. Bila ia sakit, jenguklah
6. Bila ia meninggal dunia, antarkanlah jenazahnya